Ini tulisan personal, hasil ngobrol dengan ketujuh seniman yang terlibat di pameran "Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria"
Perempuan yang Kehilangan Wajahnya
Tafsir
cerpen “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” – Arum Tresnaningtyas
Ia seperti berdiri, di
balik punggung si pelukis,
mengamatinya yang
sedang menyempurnakan lukisan wajahnya,
dan sempat mengagumi
kecantikannya sendiri pada lukisan itu.
“Apa
yang bikin kamu pilih cerita ini?” tanya saya kepada Arum.
“Karena
langsung kebayang visualnya aja,”
sahut Arum.
Setelah
dibahas lebih panjang, fotografer yang kekinian ini ternyata tertarik pada
fenomena swafoto pada perempuan-perempuan berhijab di media sosial. Meskipun
tidak lagi memperlihatkan wajah secara terbuka, mereka masih tetap berusaha
“hadir”.
“Ada
yang foto siluet aja, ada yang dari
samping, ada yang tangannya aja,”
jelas Arum. Saat melihat-lihat model hijab, Arum pun menemukan variasi-variasi
kecil pada kerudung-kerudung panjang yang terlihat polos dan sederhana.
Misalnya, ia menemukan bunga-bunga kecil berwarna hitam, tersamar pada kerudung
yang juga hitam. Modelnya pun beragam. Salah satu yang paling diminati adalah
model kupu-kupu yang membingkai wajah dengan kain serupa sayap kupu-kupu yang
manis.
Menanggapi
ini, Arum memotret transformasi berhijab dalam tiga tahap, kemudian
menggabungkannya menggunakan teknik scanimation.
Menjadi
ada atau eksis adalah naluri yang manusiawi. Karena senantiasa berbagi ruang
dengan manusia lain, jika tidak menunjukkan tanda-tanda “ada”, besar
kemungkinan seseorang terhimpit, dilupakan, dan akhirnya tidak kebagian ruang
untuk bernafas.
Berhubung perkara “ada” ini begitu
penting, pada ruang dan kemungkinan sesempit apapun, sadar ataupun tidak
manusia selalu mencari cara-cara kreatif untuk tetap ada.
Eksis tak melulu sepaket dengan sifat
narsistik. Pada takaran yang tepat, eksis adalah cara untuk tetap bernafas.
Mereka yang bertahan untuk tetap ada adalah penyintas-penyintas kehidupan.
Pada
karya Arum, Anissa juga berusaha tetap “ada” dengan caranya. Seluas apapun
warna hitam membentang di sekitarnya, ia tetap berupaya menunjukkan tanda-tanda
kehadirannya, setidaknya melalui sepasang tangan yang dapat lembut membelai dan
memberi.
Bisa
jadi Anissa adalah perempuan yang kehilangan wajahnya. Tetapi karya Arum
mengingatkan bahwa Anissa dan Annisa-Annisa lainnya tidak hilang.
After 99 Names
Tafsir cerpen “Typo” – AY Sekar F
Setelah beberapa waktu,
ia akhirnya menyerah …
Karya
AY Sekar F bersifat interaktif. Ia menyebarkan angket kepada sejumlah perempuan
dan membuka angketnya dengan kalimat ini: “To know your God, you must know
yourself first”.
Daftar
99 nama Allah berikut terjemahannya tertulis di angket tersebut. Di akhir
penjelasan dan instruksi, Sekar meminta partisipan menulis nama panggilan
mereka berikut sifat yang lekat dengan nama panggilan tersebut.
“Kalau
disuruh ngisi angket juga, kamu tulis
apa?” tanya saya kepada Sekar.
“Aku
ngisi juga, sih. Sekar sebagai
‘bunga’ karena itu arti dari namaku sendiri,” sahut Sekar.
“Kayak
apa sifat bunga menurut kamu?”
Menurut Sekar, meskipun hanya mekar
sebentar, bunga mengalami proses sepanjang hidupnya. Setelah gugur, ia
menyebarkan serbuk sari, menjadi tanaman baru, gugur lagi, dan begitu
seterusnya sebagai satu kesatuan perjalanan yang panjang.
“Hidup di dunia yang kata orang cuma
sementara ini aku anggap kayak mekarnya bunga itu. Sebelum atau setelahnya,
Tuhan yang tahu. Pada akhirnya Tuhan menciptakan aku dengan segala latar
belakang dan kondisi sebagai suratan. Tugasku menjalani hidup yang dikasih sama
Tuhan ini. Apapun value-nya, pasti
ada tujuan besarnya, nggak tahu apa.”
Paparan Sekar membantu saya memahami
“jantung yang berdetak” pada karyanya. Ikhlas dan tawakal adalah kunci.
Namun, keikhlasan itu membutuhkan
“bekal”. Mengenali diri dan menemukan sifat Tuhan yang melekat di sana, memberi
kemudahan menerima. Apabila Tuhan sudah menyatu dengan diri melalui
sifat-sifat-Nya yang tertulis dalam Asmaul Husna, kerinduan terhadap diri
sendiri—seperti yang dialami Aini, tokoh dalam cerpen “Typo”—juga dapat menjadi
kerinduan terhadap Tuhan.
“Kalau menurut kepercayaan sufi
sifat-sifat Tuhan absolut, berarti yang berubah-ubah itu kitanya, keadaan
manusianya,” jelas Sekar.
Seperti hiasan kaligrafi Asmaul
Husna, pada dua lembar kain yang terbentang, Sekar menyusun nama partisipan
yang sudah mengisi angket. Namun, ia menyediakan satu kain kosong lagi untuk
diisi oleh pengunjung pameran. Tidak harus perempuan. Jumlahnya pun bisa lebih
daripada 99, sesuai dengan judul karyanya, “After 99 Names”.
Di akhir cerpen “Typo”, Aini akhirnya
menyerah dan mengikhlaskan namanya yang lalu. Adakalanya melepaskan bukan tanda
menyerah kalah, tetapi cara lain memenangkan hidup.
Manifestasi Senyap
Tafsir
cerpen “Percakapan Sepasang Kawan” – Fat Velvet
Duh, nggak kuat nih…
“Kalau
di laki-laki ada manifestasi fisiknya lewat mimpi basah. Kalau di perempuan
gimana?” tanya Ayda Khadiva dari Fat Velvet saat membahas kebutuhan seks.
Fat
Velvet adalah Kolektif Perempuan yang mengangkat isu-isu kemanusiaan dari sudut
pandang perempuan. Kelompok yang dibentuk pada tahun 2016 ini menyampaikan
pesan-pesannya melalui seni dan industri kreatif. Mereka bercita-cita mengubah
stigma melalui aksi-aksi kreatif.
Cerpen
“Percakapan Sepasang Kawan” yang menceritakan perdebatan tangan kanan dan kiri
Ali Mustafa saat hendak bermasturbasi, memantik Fat Velvet mengonsep performance art bertajuk “Manifestasi
Senyap”. Bagaimana jika dorongan seksual itu timbul pada perempuan? Jika
perempuan tidak mengalami manifestasi melalui mimpi basah, bagaimana
“menyelesaikan” kebutuhan itu?
Performance art ini dibawakan oleh
sembilan orang. Satu orang menjadi poros yang merepresentasikan kesadaran,
sementara delapan lainnya dibagi empat-empat di sisi kiri dan kanannya,
merepresentasikan lust dan moral compass.
Bukan hanya lust dan moral compass
itu saja yang berperang. Pada intern lust dan moral compass itu sendiri pun
terjadi gejolak-gejolak yang cukup pelik. Apakah gejolak yang kompleks ini
terjadi karena perempuan lebih sulit memanifestasikan kebutuhan seksualnya?
“Sebetulnya
di perempuan juga ada manifestasinya, bisa keluar di mimpi juga, tapi mereka
nggak selalu sadar kalau mereka punya itu,” ujar salah satu kawan saya, Ayu
Oktariani.
Konon laki-laki mempunyai kebutuhan
seks yang lebih besar daripada perempuan. Ini stigma atau fakta? Apakah
pernyataan itu cukup tepat mengingat perempuan menanggung tabu yang lebih berat
jika mengungkapkan kebutuhan seksnya secara terbuka?
Saya lalu teringat juga pada fenomena
Jojo, atlet Asian Games hot yang
digilai perempuan beberapa waktu lalu. Di media sosial, beberapa saat terakhir,
perempuan mulai berani mengekspresikan birahi seterbuka-terbukanya. Apakah ini sudah
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan seks yang setara?
Lalu bagaimana dengan manifestasinya?
Jika karya Fat Velvet adalah
pertanyaan, mungkin isi pikiranmu dapat menjadi jawaban. Dialog antara dirimu
dan sang karya dapat menjadi percakapan sepasang kawan.
Maria
Tafsir cerpen “Bukan Perawan Maria” –
Galuh Pangestri
Ya tapi itu kalau kau
berkelakuan seperti Siti Maryam, atau Bunda Maria…
Galuh
menunjukkan beberapa video koreografi kepada saya. “Nanti kira-kira gerakannya
bakal begini. Repetitif.”
Selain
repetitif, saya menemukan benang merah lain di antara semua video yang
ditunjukkannya: seluruh gerakannya tidak rumit, namun lugas menyampaikan sikap
dan pernyataan.
Saat
kami membahas sosok role model perempuan
yang dicitrakan dalam Bunda Maria atau Siti Maryam, barulah saya memahami makna
koreografi Galuh. Ia tegas menolak didefinisikan dalam bingkai itu. Ia
mempertanyakan sejauh mana perempuan punya hak untuk memilih dan bersuara.
Menurutnya, Tuhan yang memegang otoritas identik dengan sosok laki-laki.
“Maria
lahir dari teks,” ujar Galuh. Berangkat dari sana, ia mengumpulkan teks-teks
seputar Bunda Maria dan Siti Maryam, kemudian memroyeksikannya teks itu ke
tubuhnya selama ia menari. Pada saat yang bersamaan ia mengucapkan
kalimat-kalimat verbal yang kontras dengan teks-teks tersebut. Diiringi komposisi
“Typography” karya Bottlesmoker, pernyataan-pernyataannya yang tajam dan lugas
berdampingan dengan teks yang sunyi.
“Maria”
adalah judul yang dipilih Galuh. Saat ini, seperti Bunda Maria atau Siti Maryam
dan tokoh Maria dalam cerpen “Bukan Perawan Maria”, Galuh juga sedang
mengandung.
Bicara soal koreografi Galuh yang
repetitif, ada pengalaman-pengalaman yang berulang pada perempuan-perempuan
sepanjang zaman. Namun, konteks dan sejarah membuat gambaran perempuan yang
menjadi role model berganti-ganti.
Beberapa referensi menyebut Bunda
Maria sebagai Eva yang baru. Jika pada sosok Eva perempuan digambarkan sebagai
penggoda yang membuat laki-laki jatuh ke dalam dosa, pada Bunda Maria,
perempuan digambarkan sebagai sosok yang taat dan suci.
Saat ini mungkin sudah saatnya
perempuan menemukan definisi yang baru, sesuatu yang ditentukan dengan pilihan
dan suara mereka sendiri.
Ada benang merah antara tokoh Maria
dalam cerpen “Bukan Perawan Maria” dan Galuh Pangestri. Bisa jadi mereka adalah
representasi perempuan pada zaman ini.
Rep.ar.tee
Tafsir cerpen “Iblis Pensiun Dini” –
Maharani Mancanegara
Apa? Kalian tidak
percaya padaku? Pada reputasiku? Pada kata-kataku?
REP.AR.TEE
Apakah
judul ini membuatmu spontan berhenti sejenak dan bertanya-tanya? Apa arti
“rep.ar.tee” sebetulnya? Mengapa Maharani Mancanegara memilih judul ini untuk
karyanya?
REAL
EYES. REALIZE. REAL LIES
Apakah
rangkaian homofon ini membekukanmu setidaknya beberapa detik? Kepalamu membaca
bunyi yang sama, tetapi teks yang kau lihat menampilkan huruf-huruf yang
berbeda.
“Repartee”
kurang lebih berarti “jawaban cepat yang cerdas dan jenaka”. Sebelum datang
jawaban, tentunya perlu ada pertanyaan. Hadirkanlah pertanyaan itu setiap
berhadapan dengan teks.
Iblis
dikenal sebagai makhluk yang persuasif. Maka, untuk menanggapi cerpen “Iblis
Pensiun Dini”, Rani mengangkat konsep propaganda dalam karyanya. Ia memasang
tiga neon box ala reklame dan memampang kata-kata menggelitik di sana. Ia
memilih font sederhana dan desain yang cenderung polos, sehingga kita fokus
pada teks yang memaksa kita untuk berpikir dua kali.
“Aku
suka dengan rencana karya yang merespons cerita ini,” ujar Rani. Jika selama
ini karya Rani lebih banyak mengangkat tema sejarah, pada “Pameran Tafsir Rupa
dan Gerak Bukan Perawan Maria”, Rani berangkat dari sumber lain.
Tetapi
ada benang merah di antara karya-karya Rani sebelumnya dengan karyanya kali
ini. Semua berangkat dari teks. Pada karya-karya sebelumnya, Rani bertolak dari
buku harian almarhum kakeknya. Pada karya kali ini, Rani bertolak dari cerpen
“Iblis Pensiun Dini” yang berbicara mengenai seseorang yang kata-katanya
dipercaya banyak orang.
Terbiasa
melakukan riset dan membaca teks dengan cermat membuat Rani terbiasa membawa
teks to the next level. Ia menyadari
teks yang kita baca selalu membungkus sesuatu. Teks membawa persepsi, opini,
konteks, bahkan tujuan-tujuan yang diungkapkan secara nyata maupun terselubung.
Itu sebabnya, informasi yang kita
terima sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah. Telaah dan bandingkan untuk
mencapai pemahaman yang lebih arif dan luas. Dalam karya-karyanya, Rani tak
pernah berpihak. “Cuma mau ngasih sudut
pandang lain,” ungkap Rani.
Neon
box yang terpampang di ruang pameran terdiri dari kata-kata yang
berganti-ganti. Di antaranya adalah dua kalimat yang menyimpulkan karya Rani
pada pameran kali ini:
WORDS
HAVE POWER.
SO DOES YOUR BRAIN.
Selamat Datang di Ruang Tunggu
Tafsir
cerpen “Ruang Tunggu” – Maradita Sutantio
“Kau bilang ini ruang tunggu?”
“Ya”
“Lalu apa setelah ini?”
“Selamat
datang di ruang tunggu,” adalah kalimat yang diucapkan perempuan penjaga ruang
tunggu dalam cerpen “Ruang Tunggu”. Namun, konsep ruang tunggu yang diangkat
Maradita Sutantio ke dalam karyanya sangat berbeda dengan konsep ruang tunggu
pada cerpen Feby Indirani.
“Ruang
tunggu ya masa selama kita menjadi manusia, realitas yang kita hadapi
sehari-hari sekarang ini sebelum masuk ke kehidupan selanjutnya,” ungkap Dita
yang tumbuh di tengah latar belakang keluarga Buddha dan Nasrani.
Instalasi
ruang tunggu Dita adalah ruang persegi dengan empat pintu yang menandakan empat
penjuru mata angin. Ruangan ini dibuat berlapis. “Kurasa tafsir itu berlapis,
kesadaran juga berlapis,” ungkap Dita yang kerap mengangkat tema seputar alam
bawah sadar dan kesadaran dalam karya-karyanya.
Sapaan
hangat mbak-mbak operator yang dilatari suara detik jam dan detak jantung
menyambut kehadiran kita di ruang tunggu Dita. Menurut Dita, detik jam dan
detak jantung adalah suara terakhir yang kita dengar jika kita hampir tertidur
pulas. Suara-suara itu adalah suara yang paling dekat dengan kita.
Akan
tetapi, suara detak jantung yang berrotasi di dalam ruang tunggu Dita berdegup
cepat. “Soalnya ini sehari-hari yang riweuh,”
kata Dita.
Di
dalam ruang tunggu Dita, kita juga dapat mendengar noise yang merupakan pantulan gelombang elektromagnetik yang
direkam di galaksi ini. “Itu pantulan suara bumi,” jelas Dita.
Dilingkupi
kain hitam yang membatasi tanpa betul-betul memisahkan, serta dihubungkan oleh
pintu terbuka yang dapat dimasuki siapa saja, kita seakan-akan diingatkan bahwa
kehidupan duniawi tidak bisa betul-betul disisihkan.
Ruang tunggu adalah orang-orang yang
berbagi tempat dengan kita. Ruang tunggu adalah realitas sehari-hari yang tak
dapat kita abaikan. Seperti kata Dita, “Menjadi sublim di dalam dunia yang
paradoks. Kondisi seimbang di tengah-tengah yang chaos.”
“Selamat
datang di ruang tunggu,” sambut suara mbak-mbak dalam karya instalasi Dita.
Suara malaikatkah itu? Atau suara hati kita sendiri?
Dalam Ruang dan
Waktunya
Tafsir cerpen “Ana Al Hubb” – Rega Ayundya Putri
… karena ia,
‘ingin menikmati
sepenuhnya kehadiranku dalam ruang dan waktunya,
dan kata-kata
seringkali membuat segalanya terdistorsi ’
“Bisa
aja Rahim Mansoor-nya makhluk astral,”
cetus Rega Ayundya Putri mengejutkan.
“Hah?
Kok makhluk astral?” tanya saya.
Ketika
kami bahas, cerita pendek “Ana Al Hubb” yang ditulis Feby Indirani menjelma
menjadi semacam science fiction dalam
tafsir Rega.
“Mungkin
Rahim Mansoor sebetulnya nggak ada wujud fisiknya. Mungkin dia cuma sebuah zat.
Sesuatu yang metafisik,” duga Rega.
Sistem
semesta mengantar Rega kepada ketakjuban yang bersifat spiritual. Saat
mengetahui ada keluasan semesta di dalam dirinya, untuk pertama kalinya Rega
merasa terhubung sedemikian dekat dengan Tuhan.
Pada setiap tingkatan kosmos, terjadi
pengulangan pola. Mulai dari tingkat sub-sub atomik atau metafisik yang maha
kecil, hingga semesta yang maha luas. Mulai dari mikrokosmos hingga makrokosmos.
Pengulangan
pola juga kerap hadir dalam karya-karya Rega. Dengan telaten Rega menggambar
pola yang kecil-kecil dan selalu senang dengan hasil akhirnya: sebuah rangkaian
yang besar dan utuh.
Apa yang ia torehkan dengan tekun
atas dorongan perasaan, mengantarnya kepada ketenangan yang meditatif; doa
tanpa kata-kata yang menuntunnya kepada pemahaman tentang Tuhan yang tak
terkungkung oleh ruang, waktu, dan definisi.
“Pada
akhirnya, sih, yang paling penting bukan dia siapa atau apa, tapi perasaannya
itu sendiri,” simpul Rega.
Dua lembar kain dengan pola berbeda bertumpuk.
Membentuk pola baru tetapi tetap mandiri. Di sela-selanya tersulam kata-kata
dengan benang putih. Tidak terlihat, tetapi ada jika dirasa dengan indera.
Jadi
siapa sesungguhnya Rahim Mansoor dan tokoh “aku” dalam cerita? Apakah salah
satu atau keduanya memang makhluk astral? Apa yang dimaksud dengan “puncak dari
segala puncak penyatuan” ketika mereka berpadu? Apakah mereka adalah
representasi dari mikrokosmos dan makrokosmos?
Kadang-kadang kita tak perlu
menjelaskan dengan terlalu banyak kata. Semesta dapat dirangkum dalam sebuah
kalimat paling kompleks sekaligus paling sederhana:
“Ana Al Hubb. Aku adalah cinta”.
Comments
Post a Comment