Kuratorial untuk pameran "Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan
Maria".
Katalog lengkapnya dapat diunduh di sini.
Perjalanan
kumpulan cerita pendek “Bukan Perawan Maria” berangkat dari pertanyaan Feby
Indirani kepada dirinya sendiri: “Apa sebetulnya tradisi saya?”
Darah
Minang, Batak, dan Sunda mengalir di tubuhnya. Ia tumbuh di lingkungan urban
dan hidup di tengah berbagai budaya yang saling mempengaruhi. Setelah
menelusuri dan berkontempelasi, Feby sampai kepada simpulan ini: “Islam adalah
tradisi saya”.
Tradisi
berpangkal pada hal-hal substansial yang tak terpisah dari diri Feby. Mempertanyakan
dan menggalinya menghasilkan sembilan belas cerita dalam kumpulan cerita pendek
“Bukan Perawan Maria”.
Pameran
“Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria” adalah kegiatan seni yang bertolak
dari kumpulan cerpen tersebut. Enam perempuan perupa lintas disipilin: Arum
Tresnaningtyas, AY Sekar F, Galuh
Pangestri, Maharani Mancanegara, Maradita Sutantio, Rega Ayundya Putri, dan dan
satu kelompok kolektif perempuan: Fat Velvet, diajak menanggapi masing-masing
satu cerpen dalam bentuk karya.
“Kalau
kita mau tidur dan hampir pulas, yang paling kedengeran itu suara detik jam sama detak jantung kita sendiri,”
kata Maradita Sutantio ketika menjelaskan karyanya, “Selamat Datang di Ruang
Tunggu”, yang merupakan setting ruang
tunggu untuk menanggapi cerpen “Ruang Tunggu”.
Apa yang dikatakan Dita betul sekali.
Selain itu, ada satu hal menarik lagi yang saya cermati saat mendengarkan detik
dan detak pada saat bersamaan. Detik jam
bisa didengar siapa saja, tetapi hanya kita yang betul-betul mendengar detak
jantung kita sendiri. Detik berseru kepada ruang, mengumumkan waktu yang
disepakati, sementara detak yang nyaris tidak terdengar menyampaikan pesannya
melalui seluruh indera kita.
“Bukan Perawan Maria” lahir sebagai
ungkapan detak jantung Feby Indirani. Ketika dibagi kepada para perempuan
perupa, cerpen-cerpen ini mengantar para perupa ini berziarah menuju detak
jantungnya sendiri. Karya-karya yang dihasilkan tidak bersifat ilustratif.
Masing-masing merupakan ungkapan detak jantung yang personal dan mandiri.
Konsep ruang tunggu dalam karya
Maradita Sutantio misalnya, berbeda dengan konsep ruang tunggu dalam cerpen
Feby. Bagi Dita yang tumbuh di tengah keluarga Budha dan Nasrani, ruang tunggu
adalah realitas yang dijalaninya sehari-hari sebelum mamasuki kehidupan
selanjutnya.
Rega Ayundya Putri menafsirkan cerita
pendek “Ana Al Hubb” sebagai dunia mikrokosmos dan makrokosmos yang selalu ia
takjubi. Pada karya bertaujuk “Dalam Ruang dan Waktunya”, Rega mem-print dua jenis motif berbeda pada dua
lembar kain, kemudian menumpuknya sebagai serangkai motif baru yang soliter
sekaligus tertaut.
Maharani Mancanegara menghayati detak
jantungnya dengan riset dan membaca sejarah. Hal itu membiasakannya tidak
bulat-bulat menelan setiap informasi yang diterima. Cerpen “Iblis Pensiun Dini”
menarik perhatiannya untuk bermain-main dengan teks. Mengangkat konsep
propaganda, di permukaan neon box ala reklame, ia menyusun kata-kata yang
membuat pembacanya harus berpikir dua kali. Judul karyanya adalah “Rep.ar.tee”
yang berarti quick speech.
Arum Tresnaningtyas, fotografer yang
kekinian, mengangkat fenomena swafoto, media sosial, dan kebutuhan eksis di
tengah kemungkinan yang paling kecil sekalipun. Menanggapi “Perempuan yang
Kehilangan Wajahnya”, Arum memotret tiga tahap transformasi berhijab yang
dicetak dalam lentikular tiga dimensi. Jika foto tersebut dilihat dari sisi-sisi
berbeda, kita menemukan gambar yang berbeda-beda pula.
“99 After Names” adalah judul karya
AY Sekar F. Menanggapi “Typo”, cerita mengenai perempuan bernama Aini, yang
kesulitan mempertahankan identitas personalnya paska berrumah tangga, Sekar menyebar
angket kepada sejumlah responden. Ia mengajak mereka menuliskan nama panggilan serta
sifat yang lekat dengan mereka. Nama-nama tersebut kemudian disusun seperti
hiasan kaligrafi Asmaul Husna. “To know your God, you must know yourself
first,” tulis Sekar pada angket tersebut.
Kolektif perempuan Fat Velvet memilih
cerpen “Percakapan Sepasang Kawan”. Tokoh laki-laki dalam cerpen ini menjelma
menjadi sosok perempuan pada performance bertajuk
“Manifestasi Senyap” yang mereka tampilkan. Dalam karya yang dibawakan 9 penampil, mereka menceritakan gejolak yang
dialami perempuan saat menghadapi dorongan birahi. “Kalau di laki-laki kan ada
manifestasi fisiknya di mimpi basah. Kalau di perempuan gimana?” ungkap Ayda Khadiva dari Fat Velvet.
Cerita
pendek “Bukan Perawan Maria” ditanggapi oleh penari Galuh Pangestri. Pertanyaan
mengenai sosok perempuan ideal yang menjadi acuan, kesucian, Tuhan yang identik
dengan laki-laki, pilihan untuk mengandung dan melahirkan, terpapar dalam koreografi yang ditampilkannya. Teks religius yang
diproyeksikan ke tubuhnya kontras dengan kalimat-kalimat lugas yang
diucapkannya secara verbal. Saat ini Galuh sendiri sedang mengandung. Judul “Maria” menunjukkan benang merah antara dirinya
dengan Bunda Maria atau Siti Maryam dan tokoh Maria dalam cerpen.
Detak
yang halus dan lugu bersemayam di dalam, menandai dan menjaga hidup. Menginderanya
dengan seluruh kesadaran menuntun kita menemukan makna untuk detik-detik yang
kita jalani.
Detik
adalah waktu yang disepakati, sesuatu yang menjaga keselarasan dan relasi
dengan kehidupan-kehidupan lain yang berputar di sekitar kita. Mengenal baik
detak jantung sendiri, membuat kita menyadari batas. Kita jadi tahu yang mana
detik dan yang mana detak. Meski sekilas serupa, keduanya tak dapat dikacaukan.
Seperti kumpulan cerpen “Bukan
Perawan Maria” yang mengantar perempuan-perempuan perupa ini berziarah menuju
detak jantungnya sendiri, mungkin karya-karya dalam pameran ini juga mengantarmu
berziarah menuju detak jantungmu.
Tak
ada pengalaman spiritual yang sama persis. Jadi, seperti apa pengalamanmu
sendiri?
Sundea
(Kurator Tafsir Rupa dan Gerak Bukan
Perawan Maria)
Comments
Post a Comment