Tulisan ini merupakan bagian dari proyek kolaboratif Drupadi.id. Dibacakan dengan teatrikal dan powerful di Contrastcoffee oleh the one and only Naomi Arsyad.
Drupadi mengamati kelima jari tangan
kanannya. Semua ia namai sesuai dengan nama kelima pacarnya.
“Bima, Yudhistira, Arjuna, Nakula, Sadewa,”
gumam Drupadi sambil mengurutkan jari-jarinya dari jempol sampai kelingking. Senyum
terbit di bibir Drupadi ketika mengingat mereka satu persatu. Sambil mulai
mengecat kukunya dengan kuteks merah, Drupadi membayangkan wajah setiap mereka.
Bima bukan yang paling ganteng, tapi
tubuhnya paling besar dan berisi. Nah. Cinta Bima pada Drupadi sama besar dan
berisinya dengan tubuhnya itu.
Bima bukan kesayangan Drupadi, tapi
Drupadi selamanya menjadi kesayangan Bima. Bima memanjakan Drupadi. Bima memuja
Drupadi. Meskipun cukup mandiri, Drupadi senang bermanja-manja dengan sikap heroik
Bima kepadanya.
“Like
this!” Drupadi mengacungkan “Bima” sambil cekikikan setelah kukunya selesai
dikuteks.
Kedua Drupadi menguteks kuku telunjuknya.
Yudhistira. Saat mengingat Yudhistira, ekspresi Dru berubah serius.
Yudhis juga bukan yang paling
ganteng, tapi dalam hampir segala hal, ia “nomor satu” seperti telunjuk.
Yudhis anak sulung. Tanggung jawab
yang besar menumbuhkan jiwa kepemimpinannya. Ia dewasa dan sikapnya selalu
mengundang segan. Mungkin bisa dibilang dialah yang paling husbandable di antara pacar-pacar Drupadi yang lain. Namun apakah
Drupadi siap menjadi istri yang mengikat diri sepenuhnya? Bukan hanya kepada
Yudhis, tapi juga kepada norma-norma dan stereotipe?
Drupadi tidak yakin.
Ketiga Drupadi menguteks kuku jari
tengahnya. Arjuna. Sambil mengoleskan kuteks, Drupadi menghela nafas.
Ini dia. Cuma Arjuna yang betul-betul
bisa membuat jantung Drupadi berdebar-debar dan seluruh tubuhnya seperti
tersengat listrik. Arjuna ganteng dan charming
setengah mati. Sejak pertama, Drupadi sudah merasa “kalah” oleh pesonanya.
Arjuna dapat membuat Drupadi merasa
bahagia, disayang, disanjung, tapi di waktu yang lain Arjuna bisa menghilang,
naksir orang lain, dan membuat Drupadi uring-uringan karena merasa diabaikan.
Namun bagi Dru Arjuna adalah sparing partner yang sepadan. Mereka
seperti lawan tanding di sasana anggar; beradu tangkas, beradu strategi,
sekaligus dibuat menyala oleh adrenalin yang mendorong mereka untuk
“bertarung”.
Di awal, dengan sportif Drupadi mengakui
kekalahannya menangkis daya pikat Arjuna. Namun ia selalu siap menantang Arjuna
pada pertandingan dan permainan-permainan berikutnya.
Drupadi mengacungkan jari tengahnya
ketika mengingat Arjuna. Sebagai ekspresi pujian yang tertinggi, sekaligus geregetan
yang tak ada habis-habisnya.
Keempat dan kelima, jari manis dan
kelingking, Nakula dan Sadewa. Drupadi memutuskan untuk menguteks keduanya
sekaligus.
Sambil senyum-senyum Drupadi
mengingat-ingat berondong kembar yang menggemaskan itu. Nakula ganteng sekali,
lebih ganteng dibanding Arjuna malah. Kulitnya bersih, wajahnya innocent seperti bintang-bintang Korea,
agak flamboyan dan alay, sih, tapi nggak apa-apa. Namanya juga cowok zaman now.
Sementara Sadewa? Drupadi
menggoyang-goyangkan kelingkingnya. Jari paling ujung, paling kecil, tapi punya
kekuatan mengikat sumpah.
Sadewa tidak seganteng Nakula, namun
matanya lebih cemerlang. Ia cerdas dan punya kearifan yang melampaui usianya.
Drupadi menaruh hormat pada Sadewa dan tidak menganggapnya anak-anak setiap
mereka berdiskusi tentang apapun.
Kendati begitu, Sadewa tetap saja
masih muda. Untuk urusan pengalaman ia masih perlu belajar banyak.
Kelima kuku jari kanan Drupadi sudah
selesai dikuteks merah. Drupadi mengibas-ngibaskannya supaya cepat kering.
Drupadi memegang kendali atas kelima
jarinya, kelima pacarnya. Kelima jari Drupadi adalah milik Drupadi. Tubuh
Drupadi adalah miliknya sendiri. Ia yang memutuskan kapan ingin menunjuk, kapan
ingin mengacungkan jempol, kapan ingin memaki dengan jari tengah, atau mengikat
diri dengan sumpah. Setelah kuteksnya kering, Drupadi memilih sebuah cincin dan
meyematkan cincin tersebut di jari manisnya. Nakula.
Drupadi melirik jam dinding dan
ternyata sudah pukul enam. Sebentar lagi Yudhistira akan menjemputnya untuk
berkencan.
Pukul setengah tujuh, bel rumah
berbunyi. Drupadi bergegas membukakan pintu. Namun betapa terkejutnya ia ketika
ternyata…
“Dursasana! Kok kamu?!”
Dursasana berusaha menjambak rambut
Drupadi, tapi dengan cekatan Drupadi menepisnya.
“Ikut! Yudhis kalah taruhan sama
Abang gue!” Dursasana masih berusaha menyeret Drupadi.
“Dia yang kalah taruhan, kenapa gue
yang musti ikut?!” kembali Drupadi mengelak.
“Karena badan lo bayaran taruhannya,
Lonte!”
PLAK!!! Kelima jari Drupadi – Bima,
Yudhistra, Arjuna, Nakula, dan Sadewa – mendarat keras di wajah Dursasana.
Drupadi menjadi merah padam. Napasnya memburu. Matanya membelalak hampir
keluar.
“HEH! Gue bukan Lonte, ya! Asal lo
tau! Badan gue punya gue! Enak aja dijadiin bahan taruhan sama orang lain!”
BRAKKK Drupadi membanting pintu
rumahnya kuat-kuat, menguncinya, dan menyelotnya dari dalam. Dursasana masih
terus menggedor-gedor, tapi Drupadi tidak peduli.
Drupadi tak tahu apa yang persisnya
ia rasakan saat itu. Ia marah, tapi juga sedih. Kecewa, tapi merasa menang
karena baru saja membela tubuhnya sendiri. Ingin menangis, sekaligus ingin
tertawa penuh kemenangan.
Drupadi mengamati tangannya yang lecet
dan perih setelah menampar pipi
Dursasana yang sekeras tembok. Ia memegang kendali atas jari-jarinya, tapi
tidak atas rasa sakit yang kadang-kadang datang sebagai konsekuensi. Hormatnya
pada Yudhistira terluka, tapi harga dirinya akan segera menyembuhkan luka itu.
Malam itu mendadak terasa dingin.
Namun perempuan yang terlahir dari api mampu membangun bara yang menghangatkan
dirinya sendiri.
Comments
Post a Comment