Saya Besar di Kampung Melayu, Bolehkah Saya Bercerita?



Ketika bom meledak di Kampung Melayu, saya tidak memberi respon apapun di media sosial. Saya hanya menggali ingatan dan membuat catatan-catatan sendiri.

Kampung Melayu adalah tempat pertama yang mengajarkan makna toleransi kepada saya. Saya tumbuh di kawasan Kampung Melayu Kecil, menghabiskan masa anak-anak hingga jelang remaja.

Daerah tempat tinggal saya dihuni oleh mayoritas warga keturunan Arab-Betawi. Mereka muslim yang taat. Sebagian sudah haji. Tetapi, sebagai keluarga Nasrani yang minoritas, kami tak pernah merasa tersisih, apalagi terancam.

Kami hidup rukun bertetangga dan baik-baik saja. Toleransi adalah bagian keseharian yang dapat kami hirup seringan udara. Ia tampak tidak sophisticated, namun memelihara kehidupan kami semua.


Seperti layaknya anak-anak, saya bermain dengan teman-teman sebaya di sekitar rumah. Kami bermusuhan, menangis, tapi selalu segera tertawa dan akur kembali. Kekejian – terlebih hasrat untuk ‘membunuh’ mereka yang berbeda paham – adalah konsep yang sama sekali tak pernah hinggap di kepala kami.

Pernah pada suatu hari, teman saya dan sepupunya mengajak saya masuk Islam. Alasannya sederhana. Supaya mereka bisa menjalankan kebiasaan-kebiasaan mereka bersama saya juga. Supaya saya bisa ikut pergi mengaji, berpuasa, dan merayakan Idul Fitri.

Tapi ketika saya tetap Nasrani, sikap mereka tidak berubah. Pembicaraan tersebut tak pernah berkembang menjadi isu yang sensitif. Kami pun tetap menjalankan ibadah menurut iman dan kepercayaan masing-masing. Kadang-kadang saya menunjukkan buku-buku cerita bergambar Yesus, sementara mereka berbagi kisah-kisah nabi.

Hari raya keagamaan adalah saat yang menyenangkan bagi kami semua. Pada hari Natal, keluarga saya membagi kue kepada tetangga. Pada hari raya Idul Fitri, giliran kami mendapat kiriman ketupat dan opor ayam dari tetangga depan rumah.

“Mbaknye pulang ya, Bu?” tanya tetangga saya sambil mengantar rantang.
“Iya. Lumayan ada opor. Jadi nggak masak. Makasih, ya. Selamat Lebaran, mohon maaf lahir batin, Bu,” sahut mama saya.
“Sama-sama, Bu, maaf lahir batin juga.”
Percakapan tulus yang sederhana itu menjadi terasa mewah sekali, terlebih untuk saat ini. Saya tak bisa menahan senyum ketika mengenangnya.

Peristiwa lain yang saya ingat dengan sangat baik adalah pernikahan Yara (bukan nama sebenarnya), anak perempuan tetangga depan rumah saya. Usia Yara dan saya hanya selisih sekitar dua tahun.

Ketika menikah, usianya mungkin belum sampai tujuh belas. Yara dan saya adalah teman kecil yang tumbuh dan bermain bersama. Jadi berita pernikahannya sangat mengejutkan bagi saya.

“Orang Arab kan kawinnya muda-muda karena nggak boleh pacaran,” kata asisten rumah tangga saya yang juga kenal baik dengan keluarga Yara.
“Terus bisa ketemu calonnya gimana? Dijodohin?” tanya saya.
“Dari dulu udah banyak yang ngelamar Yara. Semua ditolak. Nah, yang ini katanya orangnya baik, masih muda dan udah kerja di bank,” cerita asisten rumah tangga saya itu.

Di lingkungan kami, masyarakat Arab-Betawi menggelar pernikahannya di rumah dan sepanjang jalan. Jadi, ketika pernikahan Yara dilangsungkan, keluarga kami ikut sibuk.

Gerbang rumah kami dibuka karena halaman kami dipinjam untuk meletakkan stall makanan. Papa parkir di ujung jalan. Mama saya pun sibuk menghias pisau roti kami untuk memotong kue pengantin Yara.
Saat itu, untuk pertama kalinya, saya punya pengalaman mengantar teman sebaya yang menikah. Saya turut bahagia untuk kebahagiaannya dan merasa hangat ketika memeluknya di pelaminan.

Karena pesta digelar dua hari satu malam, ada suatu pagi ketika saya dibangunkan oleh lagu “Habibi, Habibi” yang disetel dengan suara keras di depan rumah. Tapi saya tidak keberatan. Toleransi adalah sebuah sikap yang mengalir begitu saja karena kasih dan kepedulian.

Sekitar satu-dua tahun setelah pernikahan Yara, kerusuhan Mei 1998 datang menerjang. Daerah Kampung Melayu tak luput dari serbuan massa. Ruko di daerah Kampung Melayu Besar – persis di depan permukiman kami – dijadikan sasaran. Mobil dibakar dan massa mengamuk.

Ada beberapa keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Kampung Melayu Kecil III, daerah rumah saya. Mereka ketakutan setengah mati dan tak tahu harus melindungi diri bagaimana lagi.

Tetangga-tetangga kami yang keturunan Arab-Betawi tidak tinggal diam. Mereka maju melindungi dan membela, memasang barikade menghadapi massa. Melihat sejumlah orang berperawakan Arab, massa menyingkir.

Pada hari itu, sejumlah keluarga Nasrani keturunan Tionghoa di kawasan tempat tinggal kami dilindungi oleh sekelompok muslim keturunan Arab – betul-betul Arab, bukan kearab-araban. Tak ada motif apa-apa dibalik itu, kecuali kasih sayang dan rasa kemanusiaan.

Setelah kerusuhan Mei 1998, saya masuk SMU dan pindah ke Bandung. Sekali-sekali, saya masih mampir ke Kampung Melayu. Ada beberapa hal yang masih sama. Attahiriyah masih aktif dan langgar kecil yang menjadi patokan belokan masih berdiri di ujung jalan.

Tukang bakso keliling langganan kami pun masih ada, namun sudah punya kios sendiri. Beberapa penduduk lama masih tinggal di sana, hanya sudah lebih tua.

Namun, ada juga yang berubah. Teman-teman kecil saya sudah menikah dan pindah bersama keluarga barunya. Atiqah Hasiholan yang tinggal di gang sebelah sudah menjadi selebritas. Dan, Yara? Saya tidak tahu ke mana.

Rumah keluarga Yara sudah dijual dan berubah menjadi salon. Padahal, saya ingin tahu kabarnya dan seluruh keluarganya yang baik hati. Apakah mereka masih sama? Masihkah mereka menyimpan toleransi sebagai kekayaan yang berharga?

Ketika mengenang semua peristiwa ini, saya merasa sudah kehilangan banyak sekali. Saya sampai lupa bagaimana toleransi dicuri sedikit demi sedikit dari masyarakat kita sampai kita jadi semiskin hari ini.
Sejak kapan kecurigaan bertebaran dan perbedaan mudah sekali menjadi isu sensitif yang menyulut permusuhan? Sejak kapan anak-anak diajarkan untuk saling membenci, bahkan dengan lantang menyerukan “bunuh, bunuh, bunuh” di tengah pawai obor menjelang Ramadan?

Pertanyaan itu terbang ke udara dan tersesat di antara asap bom Kampung Melayu. Hingga pada suatu malam, suami saya menunjukkan foto doa umat di sebuah gereja Katolik yang kembali membawa kesejukan:

Bulan Ramadhan segera tiba. Saudari-saudara kita, umat Islam, menantikannya dengan rindu untuk menjalan(kan) ibadah puasa.
Bapa, limpahilah mereka rahmat kesehatan agar menunaikan ibadahnya dengan baik. Jadikanlah kami saudara yang toleran bagi mereka.
Kami mohon…

Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…
Amin.

Comments