Dimuat di Voxpop.id
ilustrasi pulluporchestra.ch |
Masih ingat Bond String Quartet? Empat perempuan keren tersebut
populer sebagai kelompok pemain alat musik gesek. Mereka yang biasa
membawakan lagu-lagu bergenre classical crossover (gabungan musik klasik dan pop) serta synthpop (pop elektro) selalu tampil dengan permainan yang memukau, atraktif, dan trendi.
Belakangan, beredar di media sosial foto Veronica Tan, istri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sedang bermain cello
di Trans Jakarta. Tak lama kemudian, Addie MS mengundangnya untuk
menjadi pemain tamu di Twilite Orchestra. Video penampilannya kembali
beredar, termasuk di grup keluarga saya dan suami.
Karena suami saya bergerak di dunia musik klasik dan orkestra, postingan
tersebut menjadi pembahasan yang menarik. Kebetulan suami saya sedang
menyiapkan konser ke-5 Bandung Philharmonic Orchestra yang akan
berlangsung pada 30 April 2017 (info selengkapnya bisa dilihat di sini).
Bandung Philharmonic adalah orkestra kota yang ia rintis bersama tiga
rekannya; Airin Efferin (piano), Putu Sandra Kusuma (biola), dan Ronny
Gunawan (flute).
Selain menggelar konser besar secara berkala, sebagai orkestra yang
membawa nama kota, Bandung Philharmonic juga melakukan berbagai bentuk
pelayanan untuk masyarakat Bandung dan sekitarnya. Salah satunya melalui
‘The Magic of Music’, dimana Bandung Philharmonic bersama Komunitas Noong memperkenalkan musik klasik kepada anak-anak di Desa Katapang, Soreang.
Bocah-bocah di sana berkesempatan melihat, mencoba, dan belajar
langsung alat-alat musik orkestra dari pemain Bandung Philharmonic.
“Main musik bisa membawa kita ke tempat-tempat berbeda di penjuru bumi.
Transportasi imajinasi. Supaya pikiran mereka (anak-anak Desa Katapang)
tidak terkungkung di kampungnya saja,” ungkap Lina Nursanty, pengasuh
Komunitas Noong.
Ketika saya dan suami berkesempatan mengunjungi Melbourne Symphony
Orchestra, kami jadi tahu ternyata orkestra kota yang sudah berusia 110
tahun itu juga mempunyai program dengan nafas yang sama. “Di sini, kami
punya ‘The Pizzicato Effect’. Kami mengajarkan alat musik gesek
pada anak-anak pengungsi,” ujar Jennifer Lang, manajer pendidikan dan
komunitas di Melbourne Symphony Orchestra.
Menurut Jen, dengan belajar dan bermain musik bersama-sama, anak-anak
menjadi gembira. Kesadaran akan lingkungan sekitar pun terbangun dan
pada akhirnya segala tembok perbedaan akan runtuh.
Saya tiba-tiba menyadari sesuatu yang senjang. Di Indonesia, belajar
musik terbilang eksklusif, bergengsi, dan tidak murah. Banyak keluarga
menengah ke atas yang memfasilitasi anak-anaknya dengan les-les musik
yang sangat serius. Ironisnya, ketika dewasa, anak-anak yang belajar
dari piyik hingga jago-jago itu justru sering tidak diizinkan memilih jalan hidup sebagai musisi.
Musik masih dianggap tak akan mampu menjadi sumber penghasilan yang
menjanjikan. Cukup menjadi hobi. Sementara, mereka yang dengan penuh
keikhlasan ‘ngejob’ dan menyambung hidup sebagai musisi, justru jarang mendapat kesempatan belajar musik sebaik itu.
“Sebetulnya bikin program kayak ‘The Magic of Music’ sama ‘The Pizzicato Effect’
bagus juga, ya. Kayaknya itu memang tugasnya orkestra kota. Anak-anak
yang selama ini nggak punya kesempatan untuk les-les musik, jadi bisa
belajar musik serius dari kecil. Suatu saat nanti mereka bisa jadi
musisi profesional. Orkestra jadi lapangan pekerjaan dan kualitas musisi
kita meningkat,” cetus saya.
“Iya, itu memang salah satu tujuannya,” jawab suami saya.
Suami saya kemudian bercerita tentang El Sistema, orkestra di
Venezuela yang berhasil mengubah gaya hidup suatu generasi. Pada 1975,
tersebutlah Jose Antonio Abreu, seorang guru musik dan aktivis. Beliau
membangun orkestra dan mengajar anak-anak di daerah slum Caracas bermain musik.
Ketika orkestra ini menjadi semakin kuat, tingkat kriminalitas di
daerah itu menurun dan kehidupan masyarakat semakin baik. Di antara
anak-anak yang belajar musik di sana, lahir Gustavo Dudamel, pengaba
kharismatik berusia 36 tahun yang telah menjadi direktur musik di Los
Angeles Philharmonic Orchestra. “Bukan berarti musik klasik tidak disukai. Hanya tidak banyak orang yang punya kesempatan untuk mengerti dan mengalaminya,” ujar Dudamel.
Saya sendiri bukan musikus dan tidak tumbuh bersama musik klasik dan
orkestra. Tetapi belakangan, saya melihat hal-hal baik yang dibawa
kultur bermusik yang satu ini. Di dalam suatu orkestra, musisi terlatih
untuk bertoleransi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka belajar
mendengar, bukan melulu berteriak-teriak minta didengar.
Mereka tidak melihat instrumen lain sebagai ancaman, justru teman
untuk sama-sama membangun harmoni. Mereka tidak meributkan perbedaan,
karena memahami setiap instrumen sebagai bagian dari sesuatu yang lebih
besar. Mereka seperti masyarakat majemuk dengan karakter dan pilihan
yang berbeda-beda, tapi hidup rukun dan saling menopang.
Bisa jadi suasana seperti itu yang kita butuhkan saat ini, ketika penyebaran info di grup-grup WhatsApp begitu provokatif dan postingan media sosial yang sangat agresif bahkan cenderung hoax.
Robert Nordling, direktur musik Bandung Philharmonic, pernah berkata,
“Banyak hal datang dan pergi di tengah kehidupan sosial. Tapi ketika
kita berinvestasi pada kesenian, kita berinvestasi pada sesuatu yang
akan berlangsung selama-lamanya.”
Pendidikan seni – dalam konteks ini musik dan orkestra – adalah modal
untuk membangun masyarakat yang menghargai kehidupan dan dunia di
sekitarnya. Sikap tersebut diwariskan dan terus diperbarui dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Setelah setahun lebih mengikuti
perkembangannya, saya jadi menaruh harapan besar pada Bandung
Philharmonic Orchestra.
Jadi, tidak selamanya benar, kalau ada anggapan bahwa orkestra dan
musik klasik identik dengan kemewahan, keglamoran, dan elitis. Nyatanya,
orkestra juga masuk ke daerah pinggiran kota dan desa-desa. Orkestra
punya misi suci: membangun peradaban dengan cara yang mengasyikkan…
Comments
Post a Comment