Melompat-lompat di Antara Mimpi Budi

"Ini Mimpi Budi" adalah kumpulan cerpen yang ditulis oleh peserta program 30 Hari Bercerita. Dea, yang juga ikut memeriahkan program ini, menulis pengantarnya. 
Tentang 30 Hari Bercerita bisa dilihat di sini







Dua ribu enam belas saya awali dengan mengikuti program 30 Hari Bercerita. Lewat kegiatan daring ini saya mendapat banyak teman baru, menyimak aneka cerita dari beragam sudut pandang dan latar belakang, serta “dipaksa” untuk menangkap setidaknya satu scene dalam sehari untuk dibagi sepanjang Januari.


Sesekali ada tema yang ditetapkan. Tema “Ini Mimpi Budi” ini misalnya. Dari antara semua tema yang diberikan “Mimpi Budi” adalah yang paling menantang. Kami diminta mengisi titik-titik di antara ketiga kalimat ini: “Budi berimimpi ia dan ibunya pergi ke (…), tapi nggak bisa karena kehabisan pulsa. Di keesokan paginya (…)”

Budi dan Ibunya biasanya hadir sebagai sosok ikonik yang lurus-lurus saja di pelajaran sekolah. Namun dalam program ini, di tangan peserta 30HBC, mereka berdua menjadi template untuk berbagai kisah yang ajaib.

Cukup banyak cerita bernuansa sureal. Tengok “Paus Sirip Putih” karya Indri Guli dan “Agen Mimpi” karya Jihan Sulewah misalnya, dimana mimpi dan kenyataan seakan punya pintu pararel. Atau kisah tengil nyaris fabel “Tersasar di Kebun Binatang” karya Rizki Ramadhan. Mengapa saya sebut “nyaris”? Boleh dibaca sendiri. Bahkan, meski tetap menjadi Budi dan ibunya yang berangkat dari buku pelajaran, mereka menjadi sureal dalam “I.ni Mim.pi Bu.di” karya Nuriyah Amalia.

Beberapa teman memanfaatkan variabel “bermimpi” untuk menciptakan dunia sureal dan membiarkan dunia nyata berjalan apa adanya. Ambil contoh “Yang Tak Bisa Dibeli” karya Dea Maesita dan “Bulan” karya Rina Fajarsari.

Tema lain yang cukup banyak digali dalam “Ini Mimpi Budi” adalah kematian. Ia muncul dalam “Ada Apa dengan (Ayah) Budi?” karya Khoirul Huda, “Budi ke Cirebon” karya Syamrotun Fuadiyah, “Gulali Pasar Malam” karya Raras Prawitaningrum, “Judul” karya Agatha Astari, dan “Budi dan Ibu Budi” karya Jeanett Verica. Salah satu cerita bertema kematian yang dapat menjaga cerita dengan kokoh adalah “Teh yang Tak Habis Diminum” karya Cecilia Gandes.

Omong-omong soal menjaga kekokohan, saya merasa beberapa cerita dalam kumpulan cerpen ini mengalami kesulitan melakukannya. Bisa dimaklumi karena setiap tulisan yang ada di kumpulan cerpen “Ini Mimpi Budi” berangkat dari foto atau gambar dengan caption instagram. Bisa jadi awalnya setiap cerita di sini memang tak pernah dikonsep untuk menjadi cerita panjang. Maka dalam beberapa cerita, pemanjangan alur sedikit terkesan dicari-cari. Jalinannya terasa kurang kuat mengikat pembaca untuk terus merunut hingga akhir.

Tetapi karena dalam “Ini Mimpi Budi” Budi dan Ibunya memang menjadi template untuk bereksplorasi semerdeka-merdekanya, menurut saya tidak masalah. Teruslah “mencari-cari” karena belajar adalah proses “mencari-cari” tanpa putus asa.

Akhir kata, selamat menikmati “Ini Mimpi Budi”.
Salam untuk Iwan dan Wati, anggota ikon buku pelajaran lainnya. Sebetulnya saya “mencari-cari” mereka selama membaca kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini hehehe…

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
IG: @salamatahari

Comments