GALUR, Pameran Tunggal Vincent Rumahloine: Family Potrait

GALUR, Pameran Tunggal Vincent Rumahloine: Family Potrait
-Bandung, 13 Juni 2015-

Di sepanjang dinding gang Lapangan Ujung Kampung Pulosari RT 09 RW 15, foto-foto sebesar buku gambar A3 berjajar membentuk alur. Ia menuntun kita menyusur gang berliku, dan menjadi pandu arah yang membuat kita takkan kehilangan jalan pulang. Sesekali kita mendapati wajah-wajah yang kita temui di foto-foto tersebut mundar-mandir di sepanjang gang. Hidup. Dekat. Nyata.


“Awalnya, saya nggak lihat ada foto keluarga yang proper di sini. Terus saya bikin booth untuk foto keluarga. Tapi waktu itu yang datang cuma dua keluarga,” cerita Vincent Rumahloine, seniman lulusan seni rupa ITB jurusan keramik ini. Melalui pemuda Karang Taruna setempat, ia lantas mencari tahu mengapa booth-nya sepi peminat. Ternyata warga malu datang beriring-iringan dengan dandanan lengkap ke pelataran kampung. Maka akhirnya Vincentlah yang datang dari rumah ke rumah, memotret setiap keluarga di tempat dan dengan cara yang paling nyaman bagi mereka.

Pemotretan dilakukan sambil mengobrol ke sana ke mari. Curhat berhamburan. Pengalaman memotret itu pun menjadi terapi bagi Vincent sendiri. “Ternyata keluarga itu nggak harus lengkap. Foto keluarga nggak harus kayak foto (studio) di rumah-rumah pada umumnya. Buat saya sendiri, gambaran keluarga jadinya juga pulih,” papar Vincent.

Di Gang Lapangan Ujung Kampung Pulosari, ada keluarga yang hanya terdiri dari ibu dan seorang anak. Kakek-nenek dan seorang cucu tiri. Dua bersaudara. Seorang pemuda bernama Agus yang meski mempunyai saudara tiri, merasa hanya ibunyalah yang dapat ia perhitungkan sebagai keluarga. “Saya ini memang nakal. Tapi saya sayang sama ibu saya, Ibu Sarinah. Kalau dimarahin sama ibu saya, saya nggak apa-apa,” cerita Agus yang tampak mencium ibunya penuh sayang di foto jepretan Vincent.

Vincent sengaja memilih untuk tidak memamerkan karyanya di galeri. “Saya kepengen orang-orang yang lihat pameran ini ikut merasakan punten-punten-nya saya selama membuat karya ini. Atau merasakan ada motor yang tiba-tiba lewat (waktu sedang melihat pameran),” ungkap Vincent yang sempat tinggal selama satu setengah bulan di kampung itu untuk menghayati kehidupan warga.

Lalu terjadilah pameran ini. Sampai kapan pameran ini akan berlangsung pun tidak dapat dipastikan. Semuanya bergantung pada respon warga. Galeri tidak mendefinisikan pameran ini. Karya-karya itu sendirilah yang kemudian membangun definisi galeri. Mereka membangunnya melalui dinding-dinding gang yang menjadi batas sekaligus penghubung antar kehidupan. Melalui bau ikan asin dari salah satu dapur dan shampo dari rambut gadis-gadis yang baru mandi. Melalui pintu-pintu rumah yang terbuka dan menceritakan kehidupan warga tanpa skenario apa-apa. Melalui motor yang menginterupsi kegiatan kita mengamati karya. Melalui suara gemericik sungai Cikapundung dan tawa anak-anak yang berlari-lari di sepanjang gang sempit. Tak ada lampu tanam yang khusus menyorot setiap karya satu-satu. Hanya ada cahaya matahari yang menanamkan kasihnya pada kehidupan. Menyinari setiap karya secara adil dan bergiliran sesuai rotasi kala.

Dan senja itu, dengan hormat namun tetap bersahabat, matahari menyorot  foto tujuh manusia di sisi sungai Cikapundung. “Itu keluarga baru. Mereka penggerak komunitas yang aktif di sini, komunitas Kuya Gaya,” jelas Vincent. Ada banyak kegiatan positif yang dimotori oleh komunitas tersebut. Salah satu rencana besar mereka adalah membersihkan sungai Cikapundung. “Foto mereka dipasang di sana sebagai pengingat kalau mereka itu penting,” pungkas Vincent.

Gang di kampung itu membentuk alur yang berliku-liku. Demikian pula galur yang menyusun kekerabatan mereka.

Kendati begitu, tak ada yang tersesat …

***

Vincent Rumahloine dapat dikunjungi di http://vincentrumahloine.blogspot.com/

Comments