Cerita pendek ini dimuat di Th!ngs Fiction Issue
You say black I say white
You say bark I say bite*
Kapas si sepeda fixie baru saja pulang bermain. Sesaat setelah
terparkir, ia melongok melalui jendela yang membatasi garasi dan ruang
keluarga. Dengan riang Kapas menyapa sahabatnya, Jelaga si sepeda
statis.
“Kring-kring-kring … HALO!”
“Halo, Kapas, selamat sore. Dari mana saja kamu hari ini?” Jelaga membalas sapaan Kapas.
“Pertama-tama, tadi aku balapan dengan sepeda-sepeda lain di kompleks ini. Aku menang, lho.”
“Wah, hebat.”
“Sesudah itu, aku main ke lapangan. Aku kenalan dengan kucing gendut
yang lucu. Tapi kucing itu ternyata lebih suka bermalas-malasan daripada
lari-lari.”
“Mungkin karena dia kucing, bukan sepeda seperti kamu.”
“Kamu juga sepeda. Tapi kamu juga enggak suka lari-lari. Kenapa?”
Jelaga tidak menjawab pertanyaan Kapas. Sebagai sepeda statis, ia
merasa nyaman berada di posisi pasif. Daripada menjelaskan
panjang-panjang – terutama tentang dirinya sendiri – Jelaga lebih suka
mendengarkan. Ia tak punya roda yang memudahkan geraknya. Justru
sebaliknya, ia punya sepasang kaki besi – di depan dan di belakang –
yang mengukuhkan kestatisannya.
Kapas sering sekali menceritakan cita-citanya menjelajah dunia.
Jelaga mendengarkan saja, sama sekali tak tertarik untuk ikut. Baginya,
mengenal dunia melalui cerita televisi sudah lebih daripada cukup.
Terlalu banyak bahaya di luar sana. Orang jahat ada di mana-mana,
kecelakaan lalu lintas bisa terjadi kapan saja, dan cuaca tidak selalu
bersahabat. Baiklah. Dunia bisa cantik kadang-kadang. Tapi kecantikannya
adalah jebakan jika disentuh secara langsung.
Tak lama kemudian, Kapas yang lelah bermain seharian sudah tertidur.
Ia lupa pertanyaannya belum sempat dijawab oleh Jelaga. Standar Kapas
lupa dipasang, maka ia terpaksa bersandar ke dinding garasi. Jika tidak
sedang bergerak, kedua rodanya tak dapat menopangnya berdiri seimbang.
Mungkin itu sebabnya Kapas nyaris tak pernah diam.
Jelaga mengamati sahabat kecilnya yang mendengkur seperti anak
kucing. Sesungguhnya mereka dekat sekali. Tetapi sebidang jendela
memisahkan mereka sebagai yang di luar dan yang di dalam.
“Kring-kring-kring … HALO!” seru Kapas pada pagi berikutnya.
“Halo, Kapas, selamat pagi, mau ke mana saja kamu hari ini?” Jelaga membalas sapaan Kapas.
“Aku akan ke sekolah bersama Adim. Lalu selama sepuluh jam ke depan, hidupku akan membosankan sekali.”
“Lho? Kenapa?”
“Adim kan terpilih ikut pementasan drama di sekolah. Jadi dia harus
latihan sampai sore. Selama Adim latihan, aku diparkir saja. Bayangkan,
Jelaga, diparkir! Apa kamu bisa membayangkan rasanya diam saja selama
sepuluh jam?!!”
Jelaga tidak berkomentar. Baginya tidak ke mana-mana selama sepuluh jam – bahkan lebih – sama sekali tak ada sulit-sulitnya.
Sebentar kemudian Adim muncul. Setelah mencium tangan ibu dan
ayahnya, anak laki-laki bermata cerlang itu menggiring Kapas keluar
rumah. Jelaga sempat mendengar bel Kapas dideringkan. Lalu suara rantai
sepeda yang renyah dikayuh, semakin lama semakin jauh, tertelan oleh
suara tukang sayur yang sibuk bertransaksi dengan ibu-ibu kompleks.
Televisi bercerita mengenai maraknya kegiatan Bike to Work
di ibu kota. Sambil menunggu Kapas pulang, Jelaga menyimaknya. Ketika
mendengar suara gerbang terbuka di sore hari, Jelaga bersiap-siap
menyambut Kapas. Tetapi alangkah terkejutnya Jelaga ketika mendapati
Adim pulang sendiri. Mata Adim sembab dan seluruh tubuhnya banjir
keringat.
“Adim? Sepeda kamu mana? Kamu pulang naik apa?” tanya ibu seraya membukakan pintu untuk Adim.
“Hil … lang, ja … jalan … hiks kaki …” sahut Adim sambil mengusap air matanya yang menetes lagi.
“Hilang bagaimana? Kamu bukan dirampok di jalan kan, Nak?” tanya Ibu khawatir.
Adim menggeleng.
“Jadi sepedamu dicuri di tempat parkir?” tanya ibu lagi.
Adim mengangguk.
Ibu membimbing Adim masuk tanpa berkata apa-apa lagi.
Adim duduk di sofa sambil menghadap televisi. Televisi pikir, Adim
memperhatikan ceracaunya. Padahal Jelaga tahu pikiran Adim
melayang-layang mencari jejak Kapas. Isak Adim sedikit surut, tapi tidak
habis-habis juga. Sesekali air matanya menetes lagi, dan ia
mengusapnya dengan lengan seragam. Ketika Ibu memberikan teh panas, Adim
menyesapnya perlahan-lahan.
“Ikhlaskan saja, ya, Nak, semoga sepeda kamu diambil oleh orang yang
lebih membutuhkan,” pesan ibu sambil mengusap-usap kepala Adim.
Jelaga merasa sesak. Apa yang dikatakan Ibu mengena juga kepadanya.
Jelaga sepenuhnya memahami perasaan Adim karena ia pun menanggung rasa
kehilangan yang sama. Kapas adalah kebahagiaan kecil di hidup Jelaga.
Jelaga menyadari, betapa kedap hari-harinya tanpa cerita-cerita yang
dihembuskan sepeda fixie itu.
Semenjak Kapas hilang, Adim dan Jelaga jadi lebih sering menghabiskan
waktu bersama-sama. Jelaga merasa nyaman jika Adim duduk di atas
sadelnya dan membagi hangat tubuhnya. Jelaga juga dapat merasakan emosi
Adim ketika Adim mengayuhnya kuat-kuat atau mencengkram stangnya seperti
takut jatuh.
Pada suatu hari, Adim dan Jelaga menghabiskan waktu bersama sambil
menyimak televisi. Adim memilih saluran yang mengingatkannya kepada
Kapas, sebuah feature mengenai sepeda fixie. Sepeda-sepeda itu memang
terlihat mirip dengan Kapas. Ramping, ringan, berani, dicat lucu-lucu,
bersamangat, dan suka menjelajah.
Hei! Tunggu! Jelaga jadi teringat pada cita-cita Kapas menjelajah
dunia. Teringat juga pada kebosanan yang diceritakannya jika harus
menunggu di sekolah selama sepuluh jam. Jangan-jangan Kapas tidak pernah
dicuri. Jangan-jangan dia memang pergi sendiri menjemput
petualangannya. Jangan-jangan justru dialah yang menculik orang untuk
mengendarainya. Jangan-jangan …
Bicycle races are coming your way
So forget all your duties oh yeah!*
Lagu “Bicycle Race” yang melatari cerita televisi mengingatkan Jelaga
pada Kapas dan segala kenekadannya. Tiba-tiba Jelaga jadi khawatir
sekali. Meski belum pernah menjelajah dunia, Jelaga yang sering menonton
televisi merasa tahu lebih banyak daripada Kapas. Saat itu juga ia
ingin berlari keluar rumah membawa Adim yang duduk di sadelnya. Jelaga
ingin mencari Kapas. Menjaganya dari kendaraan-kendaran besar, jalan
yang jelek, cuaca yang dapat mengelupas catnya …
You say Rolls I say Royce
You say God give me a choice*
Kaki besi seakan merantai Jelaga pada lantai. Baru kali itu Jelaga menyadari, kestatisannya bukan pilihan.
*dikutip dari lirik lagu Queen yang menginspirasi cerita ini, “Bicycle Race”.
***
Sundea adalah penangkap keseharian yang suka bercerita, penggemar
astrologi, dan teman yang senang berbagi mengenai penulisan kreatif.
Secara berkala Dea menerbitkan zine-zine-an online-nya sendiri www.salamatahari.com.
Comments
Post a Comment