Draft naskah ini Dea tulis untuk Indorelawan. Ceritanya mau dipentasin sama anak-anak. Mereka yang akhirnya nyusun ini jadi naskah :)
==========================
==========================
“Raya, malam ini Ibu nggak
membacakan buku cerita buat kamu, ya,” kata Ibu.
“Yah, kenapa, Bu?” tanya Raya.
“Raya kan sudah besar, sudah bisa
baca buku sendiri …”
Raya tidak menjawab. Selama ini
setiap malam ibu selalu membacakan satu buku cerita untuknya. Dari antara
koleksi bukunya, Raya boleh memilih buku apapun yang ia mau. Satu buku dapat
dibaca lebih dari satu kali. Tapi Raya tidak bosan. Ia selalu merasa nyaman
duduk dekat-dekat ibu, mendengarkan ibunya bertutur sampai ia merasa mengantuk
lalu akhirnya tertidur. Kadang Raya tertidur setelah ceritanya selesai, kadang
sebelumnya.
“Ibu betul-betul nggak akan baca
cerita untuk Raya malam ini?” Raya memastikan.
Ibu tersenyum sambil mengusap pipi
Raya, “Kan Raya sudah bisa baca buku sendiri …”
***
Malam itu Raya berdiri di depan koleksi buku
ceritanya. Tahu-tahu buku-buku cerita itu berbicara padanya.
“Hei, kalau ibumu tidak mau
membacakan kami untukmu, biar kami yang membacakan diri kami sendiri untuk
kamu.”
“Hah? Bagaimana caranya?” tanya Raya.
“Tutup matamu, ya …”
Dengan patuh Raya menutup matanya.
Ia merasa ada angin bertiup, lalu tahu-tahu ia merasa tubuhnya tersedot,
ditarik ke suatu tempat yang ia tak tahu di mana. Meski matanya masih tertutup,
Raya menajamkan inderanya yang lain. Ia mendengar suara burung, harum
tumbuh-tumbuhan, dan merasakan angin yang sejuk menerpa kulitnya. Lalu … BRUK!
“Aduh!” ketika ada yang menabraknya,
spontan Raya membuka mata.
“Eh, maaf. Aku sedang buru-buru,”
sebelum sempat memperkenalkan diri, makhluk yang menabrak Raya itu sudah
berlari lagi. Sesaat kemudian, seorang laki-laki bercaping menyusul
berlari-lari.
“Kamu lihat ke mana Si Kancil?”
tanya laki-laki bercaping itu.
“Eh … mungkin … dia tadi menabrak
saya. Lari ke sana,” Raya menunjukkan arah. “Kenapa Bapak mengejar-ngejar Si
Kancil?”
“Karena …. Terus nyanyi Si Kancil Anak Nakal. Setelah nyanyi terus pamit lagi Sudah, ya, saya harus mencari Si Kancil lagi
…”
Sepeninggal lelaki bercaping yang
ternyata adalah petani timun itu, Raya berjalan-jalan santai sendirian
memperhatikan hutan. Tahu-tahu dari balik salah satu pohon Si Kancil mucul.
Ketika Raya akan membuka suara, Si Kancil langsung menahan, “Ssst … jangan
bilang-bilang Pak Tani aku di sini. Aku kasih tahu, ya, timun yang kucuri bukan
sembarang timun …”
“Tapi tetap saja kamu mencuri,” Raya
mengerutkan kening tanda tetap tidak setuju.
“Aku mencuri untuk menyelamatkan
timun ini. Ini Timun Emas. Dalam salah satu cerita nanti, ia akan ditemukan
oleh pasangan suami-istri yang belum memiliki anak. Di dalam timun ini ada
seorang anak perempuan. Namanya Timun Mas. Kalau bukan aku yang mencurikan
timun ini dan mengantarnya kepada pasangan suami-istri itu, jika sudah besar,
anak perempuan ini akan berada dalam bahaya,” papar Si Kancil.
“Oh, iya. Aku tahu ceritanya. Kelak
seorang raksasa akan berusaha merenggut Timun Mas dari pasangan suami istri
itu,” tanggap Raya.
“Ya. Asal kamu tahu, petani itu
adalah raksasa yang dapat menjelma menjadi petani timun,” ujar Si Kancil.
Raya menutup mulutnya karena
terkejut.
“Jadi, sekarang sebaiknya kamu
membantu aku. Temani aku megantar Timun Mas ke rumah pasangan suami-istri itu,
ya. Kita naik kereta api. Stasiunnya tidak jauh dari sini …”
Raya
dan Si Kancil membawa Timun Mas naik kereta api dan menyanyikan lagu “Naik
Kereta Api”. Disambung dengan “Memandang Alam dari Atas Bukit”.
Pada perjalanan berkereta api,
tahu-tahu muncul Ibunya Raya. Ibu Raya menjadi pramugari kereta api.
“Ibu? Sedang apa di sini?” tanya
Raya terkejut.
“Ibu datang untuk mengajak kalian
dan teman-teman kalian mengobrol. Kereta ini adalah kereta yang mengantar
kalian ke negeri imajinasi …”
Materi
diskusinya kalian aja yang bikin, ya …. Aku agak bingung soalnya hehehe …
Kereta akhirnya tiba di tempat
tujuan. Kancil dan Raya melambai pada ibu, kemudian turun dari kereta api.
Alangkah terkejutnya mereka ketika ternyata Pak Tani sudah menunggu di stasiun.
“Astaga! Kita harus lari!” Raya
menggenggam tangan Kancil.
Kancil menggenggam Timun Mas
erat-erat, kemudian segera berlari. Raya berlari di sisinya. Pak Tani berlari
di belakang mereka. Mereka berlari berlari berlari dan terus berlari melewati
berbagai dongeng. Ada dongeng Kancil dan Buaya, Kancil dan Harimau, Bangau dan
Kera, Kera dan Kura-kura, hingga akhirnya mereka jatuh tersandung batu. Karena
Kancil dan Raya berlari cepat sekali, Pak Tani tertinggal jauh. Kancil dan Raya
yang masih sakit kakinya karena terjatuh, duduk sebentar melepas lelah.
“Hai, Kancil,” sapa Si Batu.
“Eh, batunya bisa bicara!” Raya
terbelalak kaget.
“Iya, aku bisa bicara. Namaku Malin
Kundang,” kata batu itu.
“Oh, iya. Aku tahu kamu. Kamu
dikutuk menjadi batu karena durhaka pada ibumu kan ya?”
Batu itu menghela nafas.
Tahu-tahu terdengar lagi derap
langkah berlari. Pak Tani mendekat. Kancil dan Raya harus berlari lagi. Karena
Raya masih ingin mengobrol dengan Si Batu, batu itu ia dekap dan ia berlari
sambil membawa batu. Berlari sambil membawa batu membuat langkah menjadi lebih
berat. Lama-lama Raya melambat. Kancil tak bisa meninggalkan Raya. Lalu
akhirnya mereka berdua tertangkap oleh Pak Tani.
“Mau lari ke mana lagi kalian, he?
He?” tanya Pak Tani. Suaranya memang menggelegar seperti suara raksasa.
“Maaf Pak Tani, jangan hukum kami,”
Si Kancil memohon.
“Iya, Pak Tani. Kancil kan bermaksud
baik. Bapak yang jahat. Sebagai raksasa, Bapak sangat kejam. Memberikan Timun
Mas pada sepasang suami-istri, kemudian ketika Timun Mas besar nanti, Bapak
akan mengambilnya kembali. Kasihan suami-istri itu. Kasihan juga Timun Mas.
Mereka kan sudah saling menyayangi sebagai keluarga,” kata Raya dengan berani.
“Hmmm. Dengar, ya. Siapa yang jahat?
Kuncinya sederhana. Kancil tak perlu mencuri. Kepada saya, ia tinggal meminta,
dan saya akan memberi. Kedua orangtua angkat Timun Mas pun boleh memiliki Timun
Mas selamanya, jika mereka memintanya secara baik-baik kepada saya. Kamu ingat
kan? Dalam cerita, kedua orangtua Timun Mas ingkar. Mereka sudah berjanji, tapi
mereka tidak menepatinya. Mereka justru melakukan berbagai tipu muslihat untuk
membunuh saya. Jadi siapa yang jahat?” Pak Tani alias raksasa membela diri.
Raya terdiam. Kata-kata Pak Tani
alias raksasa benar juga. Ia lantas melirik Si Kancil. Si Kancil membalas
lirikan Raya namun tak tahu harus berkata apa.
“Begini saja. Ini kan sudah jelas,
ya, duduk perkaranya. Sekarang kita antar Timun Mas ini kepada suami-istri yang
menginginkan anak itu. Kita bisa membuat perjanjian yang baru. Lagi pula ini
agak berbeda. Dalam dongeng, Pak Raksasa memberikan bibit kepada kedua
suami-istri itu kan, bukan mentimun yang sudah matang. Jadi anggap saja kali
ini kita membuat jalur cerita baru,” batu Malin Kundang menengahi.
“Siapa ini?” tanya Pak Tani alias
raksasa sambil mengerutkan kening.
“Aku Malin Kundang. Anak durhaka
yang dikutuk menjadi batu itu. Aku kenal pasangan suami-istri yang menginginkan
anak itu. Mereka tinggal di puncak gunung. Kalau kalian mau, aku bisa mengantar
kalian ke sana …”
Raya, Kancil, dan Pak Tani tentu
saja bersedia. Maka, membawa Timun Mas mereka naik ke puncak gunung
Sama-sama
nyanyi lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”.
“Sebetulnya bagaimana kamu dapat
mengenal pasangan suami-istri itu, Malin?” tanya Raya.
“Sebetulnya …” Malin Kundang tidak
segera melanjutkan kalimatnya. “Sebetulnya … pasangan suami-istri itu adalah
Ibuku dan ayah tiriku.”
Pak Tani, Raya, dan Si Kancil
terkesiap.
“Setelah aku durhaka, Ibu pergi ke
gunung dan menikah dengan seorang lelaki baik hati di sana. Hujan dan matahari
yang sering mengunjungi ibu dan ayah tiriku, sering bercerita kepadaku. Kata hujan
dan matahari, ibu sering berharap mempunyai anak yang dapat menggantikan aku,
anaknya yang durhaka ini. Aku sedih mendengarnya …”
“Sedih karena Ibu kamu begitu marah
padamu?” tanya Si Kancil.
“Oh, bukan. Aku mengerti kalau Ibu
begitu kecewa kepadaku. Kesedihan ibulah yang lebih menyakitkan untukku.
Setelah durhaka pada ibu, aku menyesal. Aku ingin membuat ibu bahagia.
Mengantar kalian dan Timun Mas ini adalah kesempatan untuk membahagiakannya,”
jelas Malin Kundang.
“Ah, Malin, sesungguhnya kau anak
yang baik,” Pak Tani mengusap-usap Malin Kundang.
“Nah, itu rumahnya. Satu-satunya
rumah di sekitar ini. Yang beratap jerami. Sudah kelihatan kan?” kata Malin
Kundang.
Rumah mungil beratap jerami memang
sudah terlihat. Seorang Ibu dan bapak tua tampak duduk berdampingan di
balai-balai sambil berpegangan tangan. Pak Tani, Raya, Si Kancil, bersama Malin
Kundang dan Timun Mas segera menghampiri.
“Halo, selamat siang,” sapa Pak
Tani.
“Oh, selamat siang. Cari siapa?”
tanya Pak Tua.
“Ini. Kami dengar, Bapak dan Ibu
sudah lama ingin mempunyai anak, ya?” tanya Pak Tani lagi.
Bapak dan Ibu tua itu saling
berpandangan, kemudian mengangguk hati-hati.
“Begini … coba pinjam sebentar,” Pak
Tani mengambil alih timun yang didekap Si Kancil, “Kami ingin mewujudkan impian
Bapak dan Ibu. Ada seorang bayi perempuan di dalam timun emas yang ranum ini.
Bapak dan Ibu tinggal mengupasnya. Silakan dipelihara dengan penuh kasih.”
Bapak dan Ibu tua tampak tak
percaya. Tapi sejenak kemudian, Si Ibu meraih Timun Mas dan mendekapnya seolah
bayi di dalam timun sudah ditetaskan. Ia tampak sangat bahagia. Demikian juga Sang
Bapak. Keduanya kembali berpegangan tangan dengan hangat.
Diam-diam Malin Kundang merasa
sesak. Terharu. Ia merasa dapat menunaikan baktinya meski sedikit. Melihat
ibunya bahagia memberinya kelegaan yang tidak ternilai.
“Eh … tunggu … Ibu kenal batu itu,”
kata Si Ibu tiba-tiba.
Malin Kundang terkejut.
“Malin …?” panggi Si Ibu.
Batu Malin Kundang tidak menjawab.
Pura-pura dingin dan mati seperti batu biasa.
“Malin, aku ini ibumu. Aku tahu itu
kamu …”
“I … iya, Bu … ini Malin,” sahut
Malin Kundang setengah suara.
“Bu, Malin Kundang ini sudah baik
sekali. Dialah yang mengantar kami ke sini agar kami bisa membawa Timun Mas
untuk Ibu. Ia ingin sekali membahagiakan Ibu,”
Si Kancil mencoba membela Malin Kundang.
“Bawa ke sini Si Malin!” perintah Si
Ibu.
Dengan berat, Raya menyerahkan batu
Malin Kundang kepada ibundanya. Raya berharap Ibu Malin Kundang tak melakukan
sesuatu yang buruk lagi kepada Malin Kundang yang sudah menyesal.
“Kulenyapkan kutukanmu. Sekarang kau
kembali menjadi manusia …”
Dan … ZAP! Seketika Malin Kundang
menjelma kembali menjadi seorang lelaki muda yang gagah dan tampan.
“Kau sudah berubah, Malin, ibu
senang sekali. Kini tinggallah kembali bersama Ibu dan ayah. Sebentar lagi kau
pun akan mendapat adik perempuan, Timun Mas ini,” kata Ibu sambil mengusap-usap
bahu Malin Kundang.
Bapak tua yang sejak tadi duduk
lantas berdiri, kemudian ikut mengusap-usap bahu Malin Kundang, “Kita akan
menjadi keluarga yang bahagia sekali, ya, Nak …”
Lantas bakal keluarga berencana itu
saling berdekapan. Haru dan bahagia.
“Sekarang apa yang akan kita
lakukan?” tanya SI Kancil.
“Ya … pulang … mau apa kita di
sini?” Si Pak Tani balik bertanya.
Ketika Si Kancil, Pak Tani, dan Raya
berbalik badan, Bapak tua menahan langkah mereka, “Hei, tunggu! Jangan pulang
dulu. Mari kita makan bersama untuk merayakan kebahagiaan ini. Biar Ibu memasak
nanti sambil mengupas Timun Mas…”
Seluruh
tokoh cerita makan bersama dan anak-anak diajak melipat burung bangau kertas.
Nanti dijelasin kalau burung-burungan itu lambang doa dan harapan. Ceritanya
dengan ngelipet itu kita ngedoain keluarga ini tetep bahagia dan jalan cerita
akan selalu damai.
Hi Dea. Saya Marsya dari Indorelawan. Senang sekali bisa punya kesempatan untuk mementaskan naskahmu. Jadi pengalaman menyenangkan, foto-fotonya menarik, jadi bahan liputan seru dan tentunya anak-anak pun senang!
ReplyDeleteAyo volunteer bareng lagi :)