Pengantar untuk buku puisi "Empat Cangkir Kenangan"
Tersebutlah
empat pemuda dari kota yang berbeda-beda: Adimas Imanuel (Solo), Bernard
Batubara (Pontianak), Esha Tegar (Padang), dan Mohammad Irfan Ramly (Ambon).
Mereka adalah empat titik yang dipisahkan jarak. Lalu puisi, cinta, dan
kenangan, merentang sebagai garis yang menyatukan mereka. Keempat pemuda belia
itu pun menjadi sudut yang membentuk bidang: sebuah buku puisi bertajuk Empat Cangkir Kenangan.
Empat sudut
secara otomatis memiliki empat sudut pandang pula. Esha Tegar yang berasal dari
Padang, misalnya, banyak menampilkan hutan sebagai setting. Ambil contoh dalam puisi “Lagu Puisi Api Padam”:
Di selatan, hutan menanggalkan
pakaiannya
gelondong kayu gadang, bau getah karet,
tanah sirah, bunyi mesin pemotong yang
terus-terusan menggerung
gelondong kayu gadang, bau getah karet,
tanah sirah, bunyi mesin pemotong yang
terus-terusan menggerung
Sementara Mohammad Irfan Ramly dari Ambon nyaris tak
pernah jauh dengan laut. Misalnya dalam puisi “Tuhan Melukis. Ambonia”:
beta lihat tuhan membuang jangkar di teluk
lalu jadi dermaga
kapal-kapal besar bersadar.
Latar belakang budaya pulalah yang membuat keempatnya bertutur dengan
cara yang berbeda-beda. Adimas Imanuel dari Solo tekun bermain dengan metafor
dan deskripsi. Misalnya dalam “Delapan Aku yang Tak Mendapat Tempat di Dadamu”
Aku buku yang tak kau sentuh, melipat diri
di halaman yang menoreh namamu dengan peluh.
Aku debu tebal di jemari kipas angin, separuh diriku
masuk ke paru-paru yang pura-pura tak ingin.
Aku nampan berukir buah-buahan, apa yang
gelas kaca sangsikan meski sedia jadi tumpuan.
Aku radio tua hilang suara, nada sumbang
di telingamu yang mulai tahu selera.
di halaman yang menoreh namamu dengan peluh.
Aku debu tebal di jemari kipas angin, separuh diriku
masuk ke paru-paru yang pura-pura tak ingin.
Aku nampan berukir buah-buahan, apa yang
gelas kaca sangsikan meski sedia jadi tumpuan.
Aku radio tua hilang suara, nada sumbang
di telingamu yang mulai tahu selera.
Sementara pemuda Tapanuli yang berdomisili di Pontianak, Bernard
Batubara, berbicara dengan gaya yang lebih lugas, bahkan tak terpecah bait.
Dalam puisi “Di Depan Cermin” misalnya:
tak ada yang berubah meski
kenangan sudah berhasil kau kemas dan luka tak lagi membuatmu cemas. sebab
kepergian selalu terasa nyata dan kesepian selalu mencari teman. di depan
cermin ada sejarah yang mengulang-ulang dirinya, memanggilmu dari kejauhan. aku
bersembunyi di sudut lain membiarkanmu menatap wajah yang selama ini bertarung
dengan ragu: benarkah sejauh ini pernah ada kita di situ?
Setelah menjadi kenangan, cinta bukan lagi sebuah
jantung hati yang utuh. Ia menjelma bentuk-bentuk baru dengan utuh-tidak yang
relatif. Seluruh indera menjaga jejaknya. Dan puisi seringkali dipilih sebagai media
untuk mengenali jejak-jejak itu.
Keempat pemuda yang usianya belum sampai tiga puluh tahun ini,
mempersembahkan karya mereka. Cinta, puisi, dan kenangan adalah garis yang
menghubungkan ungkapan mereka sebagai sebuah bidang. Di atasnya terhidang empat
cangkir pengalaman personal dengan cita rasa universal.
Akhir kata, sesaplah empat cangkir kenangan yang terhidang di
hadapanmu ini.
Temukan tunggal dalam empat, nikmati tinggal dalam hangat …
Salamatahari,
semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
kak, ijin reblog ya. makasih.
ReplyDelete