“In your abandoned garden … “ *
Setiap melewati Senayan di malam hari, saya kecil selalu terpesona pada lampu gelang warna-warni yang berkedip-kedip atraktif. “Itu apa ?” tanya saya selalu. “Taman Ria,” jawab siapapun, orang dewasa yang sedang bersama saya saat itu. “Kita nanti ke sana, ya,” ajak saya, juga selalu.
Tetapi “nanti” adalah penunjuk waktu yang terbuka. Hingga saya besar menelan saya kecil, “nanti” masih menjadi ketidakpastian yang menganga. Ingatan saya atas Taman Ria beku pada gelang warna-warni yang atraktif. Harapan saya mengunjungi Taman Ria tertimbun oleh hal-hal yang tak bisa ditunda oleh “nanti”. Sampai pada suatu hari, kabar mengenai disegelnya Taman Ria seperti membunuh “nanti” seketika.
“On the highway of time, will I meet you again?” *
Kemudian terbitlah “nanti-nanti” yang lain. Mulai dari akan dibangunnya mal sampai hutan kota. Mulai dari akan dijadikannya wilayah Taman Ria sebagai bagian dari kompleks DPR hingga taman hiburan rakyat. Cerita mengenai masalah pengelolaan dan pelanggaran kontrak juga beredar di berbagai media. Tetapi saya kecil yang masih hidup di dalam saya besar tidak terlalu peduli,
“Will, even if I tell them of your sudden disappearance from us
Not believe the tale…”*
Ada kenangan personal pada lampu gelang warna-warni yang melingkar di ingatan saya seperti ikrar, “Kita nanti ke sana, ya …” Dan gembok yang menyegel kawasan seluas 11 hektare itu tak bisa membebatnya.
“And the music within you continues to flow …” *
Yang kemudian saya percaya adalah, “nanti” masih menjadi penunjuk waktu yang terbuka. Mengalirlah ia ke dimensi waktu yang mana saja…
Sundea
*diambil dari lirik Abandoned Garden Michael Franks
Comments
Post a Comment