"Junior" adalah majalah indie yang Dea buat bersama teman-teman. Tulisan ini dimuat di "Junior" edisi ke tiga (1994), ketika Dea masih duduk di kelas 6 SD.
====================================================
Ayahku bertubuh kurus. Sekilas ia nampak ringkih seperti lidi. Namun di mataku ayahku adalah ayah yang perkasa. Ayah yang bijaksana dan penuh kasih, serta pemain saksofon terbaik yang pernah kuketahui. Aku takkan pernah menemukan ayah yang lebih baik daripada ayahku.
Tiap malam sebelum tidur, ayah berjaga di sebelah tempat tidurku, Ia memainkan lagu-lagu lembut yang manis dengan saksofon sopranonya. Lagu-lagu yang mampu menenangkan gundah gelisah di hatiku. Lagu-lagu itu pula yang selalu membuatku ingin menjadi pemain saksofon Indonesia yang dapat membawa nama bangsa. Ayah menghayati lagu-lagunya sungguh-sungguh. Tambah hari, lagu ayah rasanya semakin bagus saja. Jika lelah, ayah biasanya menatapku dengan penuh kasih sayang. Apabila aku belum dapat tidur, ayah membelaiku sayang. Senyum ayah lembut dan sulit kulukiskan. Yang kutahu, tak ada senyum seperti senyum ayahku.
Pernah suatu kali aku berkata pada ayah begini: Yah, kalau ayah mau, ayah bisa jadi terkenal. Ayah harus berusaha, dong." Ayah tersenyum. Begini jawabnya: "Ayah tidak ingin mencari tenar, Nona," lalu Ayah merangkulku, "Rejeki di tangan Tuhan," lanjutnya.
Saksofon ayah adalah sihir. Mampu membuat ibu berhenti mengomel. Mampu membuat paman menangis. Mampu menidurkan aku dan sepupu-sepupuku. Aku jadi sadar betapa indahnya musik itu.
Sekarang aku sendiri mulai belajar bermain saksofon. Aku ingin menjadi seperti ayah. Kelak, aku ignin menjadi ibu yang meninabobokan anak-anaknya dengan musik saksofon setiap malam.
====================================================
Ayahku bertubuh kurus. Sekilas ia nampak ringkih seperti lidi. Namun di mataku ayahku adalah ayah yang perkasa. Ayah yang bijaksana dan penuh kasih, serta pemain saksofon terbaik yang pernah kuketahui. Aku takkan pernah menemukan ayah yang lebih baik daripada ayahku.
Tiap malam sebelum tidur, ayah berjaga di sebelah tempat tidurku, Ia memainkan lagu-lagu lembut yang manis dengan saksofon sopranonya. Lagu-lagu yang mampu menenangkan gundah gelisah di hatiku. Lagu-lagu itu pula yang selalu membuatku ingin menjadi pemain saksofon Indonesia yang dapat membawa nama bangsa. Ayah menghayati lagu-lagunya sungguh-sungguh. Tambah hari, lagu ayah rasanya semakin bagus saja. Jika lelah, ayah biasanya menatapku dengan penuh kasih sayang. Apabila aku belum dapat tidur, ayah membelaiku sayang. Senyum ayah lembut dan sulit kulukiskan. Yang kutahu, tak ada senyum seperti senyum ayahku.
Pernah suatu kali aku berkata pada ayah begini: Yah, kalau ayah mau, ayah bisa jadi terkenal. Ayah harus berusaha, dong." Ayah tersenyum. Begini jawabnya: "Ayah tidak ingin mencari tenar, Nona," lalu Ayah merangkulku, "Rejeki di tangan Tuhan," lanjutnya.
Saksofon ayah adalah sihir. Mampu membuat ibu berhenti mengomel. Mampu membuat paman menangis. Mampu menidurkan aku dan sepupu-sepupuku. Aku jadi sadar betapa indahnya musik itu.
Sekarang aku sendiri mulai belajar bermain saksofon. Aku ingin menjadi seperti ayah. Kelak, aku ignin menjadi ibu yang meninabobokan anak-anaknya dengan musik saksofon setiap malam.
Comments
Post a Comment