Ruangrupa-rupa Siapa Hendak Turut


Dimuat di Visual Arts Edisi Februari 2011
==============================================

“… rupa-rupa warnanya … Meletus … DAR !!!”

… lalu, udara yang terkompres di dalam balon di lagu Balonku membusung tanpa batas. Ia merdeka melintas ke mana saja, menjelajahi ruang-ruang, dan menyatakan diri dalam bentuk apapun. Ia membantu anak-anak menerbangkan layang-layang, mengisi kekosongan di kaleng krupuk, bahkan menyusup ke paru-paru nyaris tanpa kau sadari. Dekompresi membuat udara mampu merentang cukup luas untuk menjadi bagian keseharianmu.

“Decompression #10” adalah rangkaian acara ulangtahun Ruangrupa yang berlangsung sejak Desember 2010 hingga Januari 2011. Ia bertiup ke dua lokasi utama di Jakarta (Galeri Nasional Indonesia dan Taman Ismail Marzuki) serta sembilan lokasi tambahan di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Ia pun menyatakan diri dalam berbagai rupa yang secara umum terbagi atas pameran, peluncuran dan penerbitan buku, seminar, pemutaran film dan video, festival musik, bazaar, kuliah umum, dan lokakarya.

Ruangrupa lahir dari kebutuhan bereksperimen dan berbagi wacana seputar gagasan seni rupa dalam konteks urban. Didirikan pada tahun 2000 oleh enam orang seniman, Ade Dharmawan (kini direktur Ruangrupa), Hafiz, Lilia Nursita, Okky Arfie, Rithmi, dan Ronny Agustinus, Ruangrupa tumbuh sebagai ruang publik alternatif yang mengimbangi dominasi ekonomi dan politik yang berjaya.  Ia menjadi wadah untuk merespon berbagai fenomena yang terjadi sehari-hari, terutama di tengah masyarakat ibu kota. “Men at Work” (2006) misalnya, sebuah proyek yang melibatkan lima seniman untuk membuat pameran mengenai “bekerja” dan “profesi” .  Ada riset serius sebelum “Men at Work” lahir sebagai sepaket karya. Dengan metode wawancara dan interpretasi terhadap suatu pernyataan, para seniman mengamati bagaimana struktur fisik (arsitektur dan tata kota) mempengaruhi strategi bertahan hidup masyarakat. 



“Di Ruangrupa semua proyek dikembangkan dari awal sekali. Kemungkinan gagal sangat ada, tapi kita melihat proses, semua bisa jadi bahan untuk belajar,” ungkap Indra Ameng, Koordinator Divisi Dukungan dan Promosi Ruangrupa. Ruru.Zip, salah satu kategori dalam Decompression #10, merangkum proses sepuluh tahun perjalanan Ruangrupa dan menghadirkannya kembali kepada publik. Melalui deretan poster, foto-foto dokumentasi, catatan-catatan pemikiran, karya setengah jadi, sampai peralatan sehari-hari, kita dapat mengeja perkembangan Ruangrupa; menelusuri dan memahami kekuatan gagasan yang terkandung di dalamnya.

Kekuatan gagasan dan pernyataan merupakan landasan utama dalam setiap proyek yang dikembangkan di Ruangrupa. “Setiap karya lebih merupakan statement,” ujar Julia Sarisetiati, manager Ruangrupa. Kekukuhan berakar pada statement dan gagasan membuat karya-karya di Ruangrupa cair melintasi berbagai media, batasan, disiplin, isu, dan budaya. “Influx”, kata yang mengacu kepada sebuah kondisi arus perubahan yang terus menerus, merupakan salah satu perwujudannya. Kegiatan yang digelar di Taman Ismail Marzuki pada tangal 7-27 Januari 2011 ini merupakan bagian dari rangkaian dekompresi Ruangrupa. Influx membeberkan perjalanan seni multimedia yang mengalir bersama Ruangrupa sepanjang satu dekade.

Ruangrupa pun tanggap terhadap berbagai isu populer di eranya. Dengan tengil, jenaka,  cerdas, dan tanpa beban, melalui parodi “Picnic Kit” (2006), tercetus kritik terhadap bujuk rayu sebuah jenis iklan televisi yang terkenal karena hiperbolisnya. Picnic Kit adalah peralatan piknik serba ada yang menyajikan segala kebutuhan berpiknik; mulai dari yang perlu hingga yang tak perlu. Mulai dari yang masuk akal hingga yang tak masuk akal.

Pada pameran Decompression #10, Picnic Kit dihadirkan kembali. Di sekitar televisi yang menayangkan video parodi, tersebar atribut Picnic Kit. Menariknya, entah disengaja atau tidak, anak-anak yang datang ke pameran tidak dilarang mengambil makanan-makanan kecil yang menjadi properti karya. Tidak ada garis pengaman. Tidak ada panitia yang datang menegur mereka. Publik dan karya adalah subyek dan obyek yang dapat saling mengunjungi dan menyapa tanpa pagar.

Di tengah belantara Jakarta yang serba pragmatis, bagaimana Ruangrupa bertahan sebagai organisasi nirlaba? “Tahun-tahun pertama kita mendapat support untuk project, ” ujar Indra Ameng. Pada tahun ke tiga, barulah Ruangrupa mendapat funding dari Hivos, sebuah organisasi Belanda yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat.

Program-program Ruangrupa bergerak mengikuti wacana yang bertiup cepat. Seiring dengan bertumbuhnya seni video, hadir Ok Video, sebuah festival video internasional dua tahunan yang juga menjadi badan tersendiri. Ok Video melakukan lokakarya video di berbagai kota dan melakukan produksi, pendataan, penyimpanan, dan distribusi karya video di Indonesia.

Residensi seniman yang merupakan salah satu program awal di Ruangrupa pun menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Ia bertransformasi menjadi ArtLab, meneliti dan melakukan kolaborasi kreatif lintas disiplin atas permasalahan urban dan media.

Mahasiswa yang kritis dan kaya akan letupan pemikiran pun diberi ruang tersendiri. Setiap dua tahun sekali, Ruangrupa meyelenggarakan Jakarta 32o C, pameran yang merespon berbagai isu seputar kota Jakarta. Di penghujung tahun 2010 hingga awal 2011,  Jakarta 32o C hadir kembali sebagai bagian dari rangkaian program Decompression #10.

Ruangrupa bertumbuh dan berproses di tengah euforia kebebasan era reformasi. Ketika “perubahan” menjadi pernyataan yang selalu digarisbawahi. Ketika masyarakat sedang mencari takaran yang tepat untuk memaknai demokrasi. Ketika informasi bertebaran nyaris tanpa saringan. Ketika kita justru perlu mempertanyakan kembali apa yang sesungguhnya berubah. Sebagai penyedia ruang publik di ranah persoalan urban, tentunya Ruangrupa tidak lepas dari segala hingar bingar tersebut.

Decompression #10 membeberkan perjalanan satu dekade yang selama ini terkompres di bawah atap Ruangrupa. Ia melepaskan berbagai cerita, ide-ide liar yang tak gentar melenting, sejarah, potret sebuah masa, proses berkesenian, kehangatan persahabatan, jalinan jaringan nasional dan internasional, karya-karya yang khas, persembahan cinta kasih terhadap kota, serta rupa-rupa lainnya. Seperti angin yang terdekompresi karena meledaknya balon hijau di lagu Balonku, pada perayaan ulangtahunnya yang ke-10 Ruangrupa merentang luas, cukup luas untuk menjadi bagian keseharian kita.  

“Sepuluh tahun itu baru mulai, modal untuk mengajak siapapun yang mau bekerja sama dan punya visi yang sama. Kita baru menyelesaikan satu chapter dan siap memulai chapter berikutnya,” papar Indra Ameng.

Jika saya membuka tulisan ini dengan penggalan lagu anak-anak Balonku ciptaan A.T Mahmud, saya pun akan menutupnya dengan penggalan lagu A.T Mahmud lainnya, Kereta Api,

“Siapa hendak turut …
Ayo kawanku lekas naik,
kretaku tak berhenti lama …”

Selamat ulangtahun, Ruangrupa, semoga di tengah panas Jakarta, ruangmu menjadi tanah subur tempat hal-hal baik kelak bertumbuh …

Sundea
Penulis lepas tinggal di Bandung
www.salamatahari.com


















Comments