Hujan

Dimuat di majalah Vincent edisi ke lima tahun 1997 majalah sekolah SLTP Dea. Ini "sumbangan" tulisan untuk Vincent sebelum Dea lulus SMP. Setelah Dea nggak jadi redaksi majalah Vincent lagi.

=======================================================

Seperti tersiram setengah kaleng cat hitam basah, langit yang tadinya biru terang berubah kusam Dan langit hendak berkata: "Aku marah, nih! Sebentar lagi aku akan menangis!"

Tik ... tik ... tik ...

Betul kan? Tik, tik, tik ... cresss !!!! Makin lama makin deras. Bau khas hujan tercium seketika. Dengan suka ria anak kampung belari-lari menyambut hujan. Sebaliknya ibu. Dengan panik diangkatnya dua tampah kerupuk yang dijemur di beranda. Ibu tak pernah suka hujan. "Hujan cuma membuat orang sakit dan bingung. Petirnya bikin kaget. Dan yang lebih menyebalkan, hujan bikin jalan jadi becek!"

Tadi pagi, di sekolah, aku belajar tentang hujan. "Titik-titik air yang menguap akan berkumpul menjadi awan. Bila sudah cukup berat, titik-titik uap itu akan kembali menjadi air dan tecurah ke bumi. Itulah hujan. Kejadian ini berulang terus menurus dan disebut sirkulasi air," itu penjelasan ibu guruku.



"Wah, hujan lagi, ya, De?" ayah berdiri di sebelahku, ikut menatap hujan. "Waktu ayah kecil, hujan berarti pergi menangkap ikan bersama teman-teman di tambak swah. Pada sore hari, ikan tangkapan itu digoreng dan dimakan bersama. Meskipun tidak pandai memasak, ikan tangkapan itu terasa dua puluh kali lebih enak ketimbang ikan gurame rumah makan yang mahal. Soalnya itu hasil usaha sendiri," cerita ayah. "Harusnya kakakmu tidak mendekam di kamar saja pada cuaca seperti ini. Anak laki-laki harus pernah main hujan," kata ayah.

Mungkin ayahku benar. Harusnya anak laki-laki tidak seperti kakakku, Mas Wian. Dia tidak suka main di luar. Kerjanya cuma menciptakan lagu dan membuat puisi-puisi romantis. Seperti ayah, dia juga menikmati hujan, tapi dengan caranya sendiri.

"Hujan itu musik, De. Hujan itu indah untuk dinikmati dari balik jendela. Bukan dimasuki sampai basah kuyub."

Nenek punya pendapat lain lagi. Bila langit mulai mendung dan angin bertiup kencang, dia memanggilku, "Ade ... Ade ... lihat! Malaikat mulai menyapu! Aduh .... lihat debunya! Warna langit sampai abu-abu begitu!" Dan jika hujan mulai turun, nenek berkata, "Sekarang malaikat mencuci. Hati-hati, De. Malaikat-malaikat itu sering ceroboh dan kakinya menendang ember. Guntur kan bunyi ember yang tertendang itu!"

Buat ibu hujan penyebab sakit, becek, dan bikin kaget. Buat ayah, hujan adalah kenangan masa kecilnya. Buat ibu guru, hujan adalah titik-titik air yang berkumpul menjadi awan. Buat Mas Wian, hujan adalah musik dan inspirasi puisi. Buat nenek, hujan adalah malaikat mencuci.

Lalu buatku sendiri hujan adalah .... apa, ya? Hujan, ya ... HUJAN.

Comments

  1. saya suka dengan posting yang satu ini. Salam Blogger! :)

    ReplyDelete

Post a Comment