Dimuat di majalah KaWanku No. 33/XXX 5-11 Februari 2001
Versi asli, sebelum diedit KaWanku
=================================================“Anak-anak, tugas kalian kali ini agak istimewa. Kalian bertugas menggambar ibu sesuai dengan tanggapan kalian tentang ibu selama ini. Kalian bebas berkreasi, jangan kuatir ibu marah. Ada pertanyaan,” ujar Bu Mayka, guru kesenian kami, begitu masuk ke dalam kelas. “Ibu,” Tiya mengangkat tangannya. “Selama ini hal yang menurut saya paling menarik dari ibu adalah kepangan ibu. Boleh tidak saya menggambar kepangan ibu saja,” tanya Tiya. “Silakan,”sahut Bu Mayka. “Bu,” Bagas, temanku yang paling badung di kelas, juga punya pertanyaan. “Tanpa mengurangi rasa hormat, nih, misalnya saya ingin menyamankan ibu dengan sesuatu yang jelek, ibu marah tidak,” tanya Bagas. “Tidak. Jangan khawatir. Ibu tidak akan marah meskipun kamu menggambar ibu sebagai pocong, wewe gombel, atau apapun. Ini ‘kan Valentine, hari kasih sayang. Ibu enggak boleh marah, dong,” Bu Mayka tersenyum. “Masih ada pertanyaan…? Oke. Kalau tidak, silakan mulai menggambar! Gambar yang bagus, ya. Anggap saja gambar kalian itu hadiah Valentine untuk ibu,” kata Bu Mayka.
Ketika teman-temanku yang lain sudah mulai sibuk mencoret-coret, aku masih bengong, bingung harus menggambar apa. Jujur saja aku memang terhitung anak yang tidak kreatif. Nilai-nilaiku cukup bagus di kelas. Bahkan aku pernah mewakili sekolahku mengikuti acara Cepat Tepat di TVRI. Tapi untuk membuat sebuah karya seni? Wah, aku angkat tangan, deh. Lagi pula kesanku terhadap Bu Mayka terlalu banyak. Aku tidak dapat memutuskan kesan mana yang harus kuangkat sebagai tema gambarku.
Kesan paling pertama yang kudapat dari Bu Mayka adalah cara Bu Mayka memperkenalkan dirinya pada kami tujuh bulan yang lalu, ketika kami baru masuk SLTP dan untuk pertama kalinya mengenal Bu Mayka.
“Selamat siang anak-anak, saya Ibu Mayka, guru kesenian. Tugas pertama kalian adalah menggambar ciri khas kalian supaya ibu dapat mengenal kalian masing-masing. Biar adil, ibu juga akan menggambar ciri khas ibu di papan tulis supaya kalian juga dapat mengenal ibu. Ada pertanyaan,” Bu Mayka menatap seluruh kelas. “Ciri khas, bu, misalnya koreng permanen seperti korengnya Dandi,”tanya Bagas. Sekelas cekikikan. Bu Mayka tersenyum sabar, “yah…bisa. Kamu juga punya koreng permanen makanya tanya-tanya, ya,” Bu Mayka melempar serangan balik dengan tenangnya. Bagas menyeringai. “Tapi bisa juga yang berkaitan dengan karakter kalian. Kalau kamu tergila-gila pada sepak bola misalnya, kamu boleh menggambar tim sepak bola atau apapun yang berkaitan dengan sepak bola. Atau kalau kamu pemarah, kamu bisa menggambar diri kamu sedang mengamuk. Terserah,” lanjut Bu Mayka. “Ada pertanyaan lagi…? Tidak. Oke, mari kita mulai.”
Seperti biasa, aku sulit sekali mendapat inspirasi. Apa kira-kira ciri khasku, ya? Ketika gambar teman-temanku sudah hampir selesai, kertasku masih putih bersih.
“Ehm,” saat aku bingung memikirkan ciri khasku, Bu Mayka tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. “Eh, ibu,” aku agak kaget. “Kamu tidak hobi menggambar, ya,” tanya Bu Mayka. Aku mengangguk terus terang. “Jadi hobi kamu apa, dong,” tanya Bu Mayka lagi sambil duduk di bangku kosong di sebelahku. “Saya suka mengerjakan soal-soal matematika,” jawabku. “Oh, ya? Waduh, hebat. Kamu pasti pintar, deh. Ibu paling enggak bisa matematika, lho,” puji Bu Mayka. Aku tersenyum menanggapi pujiannya.
“Ngomong-ngomong, makanan kesukaan kamu apa, sih, “tanya Bu Mayka. “Bakso Malang,” sahutku. “Oh, ya? Kita sama, dong. Kalau minuman favorit kamu,” tanya Bu Mayka lagi. “Es jeruk,” sahutku lagi. “Kalau ibu es cincau. Tahu tidak kenapa,” tanya Bu Mayka dengan nada yang membuat orang penasaran. “Tidak. Kenapa, bu,” aku balik bertanya. “Soalnya….,”dan Bu Mayka menjelaskan alasannya
Walhasil kami betul-betul mengobrol sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Bel itu sempat membuatku panik karena aku betul-betul belum menggambar apapun. Untungnya Bu Mayka tidak marah. Malah dia bilang aku sudah mengerjakan tugas pertamaku dengan baik.
Setelah Bu Mayka meninggalkan kelas, aku mengamati gambar Bu Mayka di papan tulis. Bu Mayka menggambar dirinya sedang memeluk murid-murid berseragam putih-biru dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang! Memang itulah sifat terkuat Bu Mayka yang dapat kutangkap.
Hal lain yang istimewa dari Bu Mayka adalah gaya busananya yang unik. Rambut panjang sepinggang yang setiap hari dikepang kencang-kencang, gaun panjang semata kaki dengan kantung banyak, kemeja wol rajutan yang agak kedodoran, dan sepatu lars hitam yang agak antik. Yang hebat, sepertinya Bu Mayka dapat menyimpan apa saja di dalam kantung roknya. Mulai dari obat merah, plester, makanan, sampai balsam. Kalau murid-murid membutuhkannya, Bu Mayka dengan senang hati memberikan.
Bu Mayka juga cepat akrab dengan murid. Caranya menangani murid yang nakal juga berbeda dengan guru-guru pada umumnya. Pada suatu kali, ketika Bagas diskors Pak Pur karena ketahuan sering membaca komik di dalam kelas, Bu Mayka lewat.
“Lho, Gas, kamu kenapa,” tanya Bu Mayka. “Saya membaca komik di dalam kelas, bu,” aku Bagas. “Komik apa,” tanya Bu Mayka. “Donal Bebek,” sahut Bagas. “Wah, ibu juga suka, tuh. Dulu juga ibu sering membaca Donal Bebek kalau bosan di kelas,” cerita Bu Mayka. “Oh, ya,” Bagas mulai tertarik. Bu Mayka mengangguk. “Tapi dampaknya jelek, Gas. Lama-lama ibu jadi kecanduan membaca Donal Bebek di dalam kelas, dan tidak pernah memperhatikan pelajaran. Ibu juga jadi lihai menyembunyikan Donal Bebek dari guru-guru. Kadang-kadang ibu membaca sambil makan kripik, lagi. Saking asyiknya, ibu jadi enggak pernah tahu apa-apa di kelas. Kamu tahu hasilnya,” Bu Mayka berbisik-bisik. Bagas menggeleng. “Eh, ini rahasia kita berdua, ya. Ibu pernah tidak naik kelas gara-gara itu,” bisik Bu Mayka (sayangnya Bagas keceplosan menceritakan rahasia ini kepadaku). “Oh, ya,” tanya Bagas lagi. Bu Mayka mengangguk serius. “Makanya, Gas, ibu tidak ingin kamu mengalami hal yang sama dengan ibu. Begini saja, deh, kamu langganan Donal Bebek tidak,”tanya Bu Mayka. Bagas menggeleng. “Ibu langganan. Ibu menjilid Donal Bebek mulai dari Donal Bebek-Donal Bebek tahun 80-an, jaman ibu masih SMU. Kalau kamu berjanji tidak membaca Donal Bebek di dalam kelas lagi, besok ibu akan membawa koleksi Donal Bebek ibu dan kita membacanya beramai-ramai waktu istirahat. Setuju,” tawar Bu Mayka. “Yaaah…waktu jam istirahat. Enggak ada tantangannya, dong,” sungut Bagas. “Eeeeh…siapa bilang. Kalau kamu kreatif, apapun bisa mengandung tantangan, lho. Misalnya, kita bisa membaca Donal Bebek dari halaman paling belakang, kemudian menebak awal ceritanya. Atau, seminggu sekali ibu akan membuat ‘kuis Donal Bebek’. Kita main cerdas cermat dengan soal-soal seputar cerita Donal Bebek. Seru ‘kan….,”saran Bu Mayka sembari memainkan alisnya jenaka. Bagas mengangguk setuju. “Bagus. Toast dulu, dong,” ajak Bu Mayka. Bagas membalasnya dengan kompak.
Bu Mayka juga punya cara unik mengajar anak-anak menggambar perspektif.
“Anak-anak, ibu akan mengajarkan teori perspektif selama sekitar dua puluh menit. Kalian perhatikan, ya,” kemudian Bu Mayka menerangkan. Setelah itu dia menyuruh kami merapikan barang-barang kami. “Apaan, nih, bu, mau ngajak mabal,” tanya Bagas. “Pokoknya bereskan saja, jangan banyak tanya. Ikut ibu, bawa alat-alat menggambar kalian!” perintah Bu Mayka.
Ternyata Bu Mayka mengajak kami pergi ke rel kereta api di belakang sekolah. Dia menyuruh kami melihat tiang-tiang yang berjajar membentuk perspektif di pinggir rel kereta api. Ketika kereta api lewat, dia menyuruh kami semua memperhatikan baik-baik bagaimana kereta api itupun bergerak secara perspektif, semakin dekat, semakin jelas dan besar. Kami sudah mengetahui teori itu dari dulu. Tapi sebagian besar dari kami tidak pernah betul-betul memperhatikannya secara serius.
“Menggambar adalah seni,” ujar Bu Mayka dalam perjalanan kembali ke sekolah. “Orang sering mengganggap menggambar teknik semacam perspektif cuma butuh kerapian dan ketelitian, padahal tidak. Menggambar apapun butuh perasaan dan daya bayang. Perasaan dan daya bayangmu waktu menggambar itulah yang memberi jiwa pada gambarmu, yang membuat gambar-gambarmu hidup,” papar Bu Mayka. Aku terkesan.
***
Sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima belas. Lima belas menit lagi jam pelajaran menggambar selesai. Gambar teman-temanku sudah hampir jadi, dan aku belum menggambar apapun.
Akhirnya aku memutuskan untuk menggambar sebuah hati yang besaaaar…sekali, seluas kertas gambarku . Bukan gambar hati yang bagus dan istimewa, karena seperti kataku, aku tidak pandai menggambar.
Selama beberapa menit aku diam, memikirkan harus menambahkan gambarku bagaimana lagi. Akhirnya di bawah gambar hati itu aku menulis,
…Karena menurut saya Bu Mayka adalah kasih sayang.
Selamat Valentine, bu…
Comments
Post a Comment