Dimuat di Minor bacaankecil edisi #05 : Jazz , 2004
==================================================
Ketika sedang minum-minum santai di sebuah kedai, sayup saya mendengar nyanyian kereta api, “jazz…jazz…jazz…” Palang yang membatasi rel dengan jalan raya tertutup secara otomatis. Lampu di sisi rel berkelap-kelip dan rekaman suara perempuan berkumandang, bersama-sama memperingatkan kendaraan lain untuk berhenti.
Dengan patuh para kendaraan berhenti, takzim memusatkan perhatian mereka pada rel. Beberapa saat kemudian, “Jazz…jazz…jazz !!!!” disaksikan belasan kendaraan, kereta api melintas, membanggakan musik kegemarannya. Setelah kereta api berlalu, palang kembali dibuka. Kendaraan-kendaraan lain melanjutkan perjalanannya, memintas rel.
Saya melongokkan kepala saya keluar jendela kedai,
“Kereta api memang suka musik jazz, ya,” tanya saya pada sepeda kumbang yang sedang parkir.
“Iya. Tadi ‘kan Mbak dengar sendiri. Dia keren, ya, Mbak?”
“Keren apanya?”
“Keren saja. Jazz kan musik berat,” sahut sepeda kumbang.
Sayup___ kali ini fade out___ masih terdengar “jazz-jazz” kereta api. Dengan bangga kereta api mendesiskan lagu jazz-nya lantang-lantang, konstan berulang.
Jazz memang tercitra sebagai musik berat. Penggemarnya sering dianggap punya apresiasi musik yang tinggi, jadi tidak heran kalau penggemar musik jazz ___ termasuk kereta api ____ kadang memiliki arogansi tersendiri.
Namun citra itu juga yang kadang membuat seseorang ___ atau karena kita juga berbicara tentang kereta api, “sesuatu” ____ tidak dengan alami menjatuhcintai jazz. Perasaan ingin dikagumi kadang membuat sesuatu yang tahu sedikit-sedikit tentang jazz, bersikap seolah-olah secara fanatik menggemari jazz.
Jujur saja, waktu kereta api lewat sikap begini inilah yang justru saya tangkap. Menurut saya nyanyian kereta api sama sekali tidak nge-jazz. Jazz adalah musik yang kaya dengan kunci dan improvisasi. Sementara “jazz-jazz” kereta api begitu rapat dan monoton. Saya sama sekali tidak menemukan ruang improvisasi dan kunci kromatik dalam nyanyian kereta api.
Mmm…iya, sih, secara fonologis kereta api berseru-seru “jazz…jazz…jazz…”. Tapi apa bedanya seruan itu dengan lagu Seurieus band :
..daripada musik metal lebih baik musik jazz…
yang dinyanyikan dengan nada dan gaya semetal-metalnya? Atau seperti Seurieus band, kereta api pun punya maksud bercanda-canda belaka? Tidak tahu juga. Yang pasti kendaraan-kendaraan lain sudah keburu serius menatapnya kagum.
“Kok jadi melamun, sih, Mbak,” tegur sepeda kumbang. “Eh…enggak, nggak apa-apa,” saya menggeleng sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong, kamu suka musik apa, sih, sped,” tanya saya pada sepeda kumbang. “Ah…ya kalau saya, sih… begini-begini saja,” sahut sepeda kumbang malu-malu. “Begini-begini saja bagaiamana,” tanya saya lagi. “Saya, sih, suka lagunya ng…Bang Rhoma Irama. Enak-enak,” sahut sepeda kumbang lagi. Saya manggut-manggut.
“Mbak, Tuan saya sudah datang. Saya pulang dulu, ya,” pamit sepeda kumbang. Seorang laki-laki berkumis tipis berjalan mendekatinya. “Oh, iya, iya. Hati-hati di jalan, ya,” pesan saya.
Laki-laki berkumis tipis itu melepas standard sepedanya, tersenyum sekilas pada saya, lalu mengayuh sepedanya meninggalkan kedai. Berduet dengan bel sepeda kumbangnya, laki-laki itu menyanyi, “Begadang jangan begadaaaang….”
Saya tersenyum mendengarnya. Ketika sepeda kumbang dan kendaraan-kendaraan lainnya mengagumi si kereta api, saya malah mengagumi lelaki berkumis tipis itu dan si sepeda kumbang. Karena ada jiwa dalam ketanpapamrihan mencintai sebuah musik. Karena ada pesona dalam nyanyian yang penuh dan utuh.
Tiara, 27 Oktober 2004
Comments
Post a Comment