Cakrawala

 Dimua di KaWanku No. 19/XXX 30 Oktober-5 November 2000
Versi asli, sebelum diedit

=============================================

“Ssst…liat si Cakra, deh. Bodi gede kayak gitu bacaannya Donal Bebek,” Ifa teman sebangkuku menyikutku. Aku yang sedang makan kripik pedas menoleh sebentar ke bangku paling belakang tempat Cakrawala, murid paling aneh di sekolah kami duduk. “Ah, dia mah memang aneh,” tanggapku tidak heran. “Gue sebel, lho, sama dia. Sok keren!”cerocos Ifa.      “Huahahaha…,”tiba-tiba tawa Cakra meledak. Nasi di mulutnya melompat keluar. Dengan cuek Cakra mengumpulkan nasi-nasi yang berserakan di mejanya dan membuangnya ke tong sampah. Dia sama sekali tidak peduli pada anak-anak di kelas yang menatapnya heran dan sebal. “’Kan, liat aja. Itu anak nggak punya kepekaan sosial sama sekali. Gue tau Donal Bebek ceritanya suka lucu. Tapi dia ‘kan nggak usah gitu-gitu amat,”komentar Ifa sengit. Aku menaikkan alisku setuju.



Cakrawala memang aneh. Dia tidak pernah punya teman. Dia punya rambut yang agak gondrong dan berantakan, membawa termos air dan bekal setiap hari, punya badan tinggi besar, tapi kacamata selebar tatakan gelas yang setiap hari bertengger di hidungnya membuat dia berkesan gedong…gede dongo. Katanya Cakra sudah “tua”. Umurnya sudah 18 tahun tapi masih duduk di kelas dua SMU. 


Aku, dan mungkin juga semua anak di SMU kami, tidak suka pada Cakra. Anehnya kelihatannya Cakra tidak peduli dibenci siapapun. Dia terlalu mandiri dan angkuh.

Aku punya teman-teman yang menyenangkan. Aku takkan tahan menjadi sesendiri Cakra.
“Cakra ‘kan rada kurang satu strip. Makanya bisa nggak naek kelas tiga kali,”kata Ifa lagi. “Oh, ya?”tanyaku. “He-eh. Malah dia pernah di D.O saking begonya,”lanjut Ifa penuh semangat. Aku mengangguk-angguk.
Dua minggu kemudian aku divonis terkena thypus. Terpaksa aku istirahat di rumah selama sebulan lebih. Sengaja perihal sakitku tidak dikabarkan ke teman-teman, soalnya menurut ibu, kalau teman-temanku datang menjenguk, aku takkan mungkin benar-benar istirahat. Kadang-kadang ibu memang overprotektif. Meskipun sudah kubilang aku akan baik-baik saja, ibu tetap tak mau tahu.

Hingga akhirnya, setelah 40 hari yang membosankan, aku masuk sekolah kembali. Senang sekali membayangkan wajah teman-temanku, mengobrol dan jalan bareng mereka lagi.

Begitu menginjak kelasku, aku langsung memasang senyumku yang paling manis, “hai!” sapaku. Di luar dugaan, anak-anak di kelas membalas sapaanku dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah. “K…kenapa, sih,”tanyaku. “Enggak,”sahut teman-temanku hampir bareng. Kemudian mereka kembali melakukan aktivitasnya masing-masing. Menyalin pe-er, belajar, mengobrol. Aku berjalan ke tempat dudukku dan meletakkan tasku di sebelah Ifa, “eh, di situ tempatnya Ririn. Lo sekarang di belakang sama si gedong,”usir Ifa. Aku ingin protes, tapi Ifa sudah menyambar tasku dan meletakkannya di bangku kosong sebelah Cakra. Cakra yang sedang membaca Donal Bebeknya menoleh sebentar, lalu kembali menikmati bacaannya acuh. “Kenapa musti di sini? Bangku di sebelah Jarot ‘kan kosong, gue duduk di situ aja,deh…””Nggak! Mendingan gue duduk sendiri daripada sebangku sama pek-chun kayak elo,”sentak Jarot ketika aku hendak memindahkan tasku. “Pek-chun? Perek chulun?”pikirku. Aku tidak jadi memindahkan tasku. Dengan pasrah aku duduk di sebelah Cakra. Kupikir Cakra akan mengusirku juga. Ternyata tidak, meskipun dia juga tidak menganggapku ada.

Belakangan aku tahu kalau beredar gosip aku hamil. Katanya aku menggugurkan kandunganku lalu mengalami pendarahan parah sampai harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. Gosip yang kejam! Aku sudah mencoba menjelaskan pada semua orang kalau aku bolos sebulan gara-gara terkena thypus. Tapi pengaruh gosip itu sedemikian kuatnya sehingga tak seorangpun percaya padaku.

Sekarang aku sama kesepiannya dengan Cakra. Bedanya aku bukan Cakra yang sama sekali tidak mempedulikan pandangan orang lain terhadap dirinya.

Pada suatu hari, waktu ulangan sosiologi, mendadak bolpoinku macet. Sialnya hari itu aku cuma membawa satu bolpoin. Pinjam? Mana berani? Mana ada yang rela meminjamkan bolpoin pada “pek-chun” seperti aku.
Di luar dugaan, Cakra meletakkan bopoin di sebelah kertasku. Aku menoleh tidak percaya. “Gue boleh pinjem,”tanyaku berbisik, takut ketahuan guru. Cakra mengagguk tanpa menoleh kepadaku. 
“Makasih,”sahutku sambil tersenyum. Cakra tak seburuk penilaianku. Setidaknya sekarang aku sudah punya teman.

“Cakra, tadi makasih bolpoinnya, ya. Eh, makan bakso, yuk. Gue traktir,” ajakku sepulang sekolah. “Gue banyak kerjaan,”tanggap Cakra dingin. “Jadi lo juga sebel sama gue? Gue kira lo mau temenan sama gue,” ujarku kecewa. “Gue nggak sebel sama lo. Tapi minjemin bolpoin ‘kan bukan berarti temenan,”kata Cakra. “Jadi artinya apa,”aku mengerutkan keningku. “Emangnya semua perbuatan harus ada artinya? Udah, ah, gue musti cepet-cepet pulang,” Cakra meninggalkanku yang terbengong-bengong di pintu kelas.

Keesokan harinya, Cakra kembali menjadi si acuh. Tapi ketika aku betul-betul butuh bantuan, dia adalah satu-satunya orang yang mau membantuku. Waktu bukuku ketinggalan, dia mau berbagi buku denganku. Waktu kalkulatorku rusak, dia juga yang memperbaiki. Tapi dia melakukan semuanya seperti robot. Datar dan tanpa ekspresi. Aku jadi penasaran. Berkali-kali aku mencoba mengajaknya mengobrol akrab, tapi tak pernah berhasil. Sampai muncul gosip baru. Si pek-chun lagi ndeketin gedong.

            Tapi rasa penasaranku terhadap Cakra lebih besar ketimbang ketakutanku pada gosip yang beredar dengan ganasnya. Aku terus mencoba mengorek keterangan dari si misterius Cakrawala. Sampai pada suatu ketika, buku Cakra tertinggal di kelas. Dari Ibu Tata Usaha, aku berhasil mendapatkan alamat Cakra. Dengan alasan mengembalikan buku, pulang sekolah aku mendatangi rumah Cakra.

            Rumah Cakra lumayan besar dan artistik. Di halamannya ada kolam ikan dengan air mancur patung anjing kencing. Aku memencet bel rumah sembari senyum-senyum melihat air mancur tak lazim itu.

            “Selamat siang, nak, mau cari siapa,” tanya seorang wanita setengah baya yang membukakan pintu dengan ramah. “Eng…Cakranya ada, bu,” tanyaku sesopan mungkin. Wanita itu mengerutkan kening, tapi kemudian tersenyum. “Ada di studionya. Masuk saja,”wanita itu mempersilakan. “Cakra tidak pernah dikunjungi teman. Saya senang sekali ada yang mau berteman dengan dia,”kata wanita itu sembari mengantarku ke loteng. “Nah, Cakra ada di sini,”wanita itu membukakan pintu sebuah ruangan untukku. “Mas Cakra, ini ada temannya,” kata wanita itu. Aku menyembulkan kepalaku di belakang si ibu. Cakra menatapku dari balik kanvas dengan kaget. “Ngapain lo,”tanyanya tidak ramah. “Buku lo ketinggalan. Gue cuma mo nganterin. Lo nggak marah ‘kan,” aku pasang wajah sepolos mungkin. Wanita yang tadi mengantarku meninggalkan Cakra dan aku berdua. “Marah, sih, enggak, tapi…” “Cakra! Elo ternyata suka ngelukis, ya? Ini lukisan lo semua? Keren banget,”aku berjongkok mengamati kanvas-kanvas yang disandarkan di dinding. Cakra tidak menyahut. Dia menatapku dengan tatapan kesal. Akhirnya ia berkomentar, “lo orangnya nekad banget,ya?” Aku menyeringai lalu berlutut di sebelah Cakra, mengamati lukisan terbarunya. “Cakra, lukisan lo keren-keren, asli,” pujiku tulus. “Makasih. Sekarang lo boleh pulang,”usir Cakra. “Cak, kenapa, sih, lo nggak mau temenan sama gue? Please jelasin alesannya, dong,” pintaku. Cakra tidak menyahut. “Gue nggak tahan nggak puyna temen, Cak. Please, jadi temen gue, paling nggak sehariiii…aja,”mohonku. “Nah!” tiba-tiba Cakra membanting kuasnya di hadapanku sampai aku terlonjak kaget, “itu yang bikin gue nggak mau punya temen. Orang kalo udah biasa punya temen nggak bisa mandiri. Kalo udah nggak ada temen, pasti tersiksa. Padahal temen itu kerjanya cuma nyakitin. Untuk sementara waktu mereka nyenengin, tapi pada suatu hari mereka bakal nyakitin lo kayak temen-temen lo sekarang,”ledak Cakra. “Iya, sih,”akuku pelan. “Tapi, Cak, elo mau ‘kan jadi temen gue? Sehari iniii…aja. Cuma sehari,”pintaku. Cakra diam. “Please…,”aku menaikkan alisku. Luluh juga si gunung es itu, “oke. Sehari, ya. Hari ini aja. Janji besok-besok lo nggak ngegerewengin gue lagi!” Aku melonjak girang mendengar jawaban Cakra. Langsung saja aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi besok-besok kalau dia mau menjadi temanku hari ini.

            Cakra ternyata sangat menyenangkan. Karena banyak membaca, pengetahuan umumnya luas sekali. Dia sama sekali tidak nampak bego dan cacat mental seperti gosipnya. Dia juga enak diajak mengobrol, punya prinsip, dan berbakat seni. “Tau, nggak, Cak, punya temen, tuh, asik. Ada yang bisa dijadiin tempat curhat. Elo tuh benernya anakanya asik. Gue percaya kalo mau lo bisa dapet temen lebih banyak dari gue,”kataku. “Ngapain? Gue bisa curhat ke kanvas, kok. Lagian kalo lo biasa sendiri kayak gue, lo lebih survive, tau nggak? Nggak banyak masalah,”sahut Cakra. Aku mengerutkan keningku tidak setuju. “Liat aja buktinya. Yang lebih banyak masalah elo apa gue,”Cakra mengajukan bukti. Aku tidak bisa menjawab. Cakra menggigit kuasnya. Ia melepas kaca matanya untuk mengelap debu di lensanya. Ketika Cakra menunduk, poni gondrongnya jatuh menutupi mata. Terpaksa Cakra menyibakannya dulu. Aku mengamati Cakra. Tanpa kaca mata Cakra tampak seperti orang lain. “Yaaah, tangkainya patah,”gerutu Cakra sembari menggoyang-goyangkan tangkai kacamatanya yang memang patah. “Nantilah gue selotip,”kata Cakra sembari meletakkan kacamatanya di sebelahnya. Ia mulai melukis kembali tanpa kacamata. Cakra punya sepasang mata yang gelap dengan sorot yang tajam dan alis yang tebal. Ketika melukis dengan ekspresi serius, dia sama sekali tidak nampak gedong seperti biasanya. “Lo keren, tau,” ungkapku terus terang. “Oh, ya? Makasih,”sahut Cakra tanpa menoleh padaku. “Eh, Cak, gue mo nanya. Kenapa, sih, umur 18 taun elo baru kelas dua SMU? Trus emang elo pernah di D.O dari sekolah saking begonya, ya,” tanyaku polos. “HUAHAHAHA…!” Cakra tertawa meledak. “Kata Ifa, ya? Dasar tukang nyebar isu. Bukan. Sama sekali bukan.

            “Gue telat masuk sekolah. Umur lima taun setengah, gue baru masuk TK. Terus pas umur delapan taun, gue demam tinggi, hampir meninggal. Akhirnya, sih, gue bisa sembuh. Tapi mata gue jadi agak cacat. Makanya gue musti pake kacamata setebel pantat botol. Karena sakit sebulan itu, gue jadi nggak naek kelas. Berarti gue boros umur dua setengah taun.,” jelas Cakra.

            “Kenapa elo nggak nyoba njelasin maslah ini ke anak-anak? Kalo mereka tau alesan lo jadi ‘manula’ di kelas, mereka nggak akan punya persepsi yang enggak-enggak ‘kan,”kataku. “Ah, ngapain? Mereka boleh nganggep gue apa aja. Yang penting ‘kan gue nggak kayak gitu,”tanggap Cakra cuek. “Gue bingung, deh, sama elo. Lo cuek banget, sih,”ujarku. “Sesuai sama nama gue, gue itu seperti Cakrawala. Bukan langit, dan bukan air. Tapi gue ada diantara keduanya dan nggak akan kepaengaruh sama apa yang terjadi di langit atau di air,” sahut Cakra. Aku terkagum-kagum pada filosofinya. “Heh, udah jam enam lewat, nih. Lo mau pulang, nggak? Sini gue anter. Cewek nggak baik pergi sendirian malem-malem. Ayo cepetan, nanti elo dimarain orangtua lo lagi,” Cakra menarik lengan kemejaku.

            Sebetulnya aku ingin berteman dengan Cakra sampai seterusnya. Tapi Cakra tidak mau. “Lo nggak percaya sama gue, ya,”tanyaku ketika Cakra menolak menjadi temanku. “Nggak,”sahut Cakra terus terang. “Gue nggak akan ngegosipin elo, kok. Gue bakal jadi sahabat yang baek,”janjiku. “Dulu ‘kan Ifa juga bilang begitu sama lo,”sahut Cakra. Aku menggigit bibirku. Beberapa saat kemudian, motor Cakra sampai di depan gerbang rumahku. “Udah, ya. Mulai besok gue bukan temen lo lagi,” Cakra mengingatkanku sebelum betul-betul meninggalkan rumahku. Dengan berat aku mengangguk.
***

            Beberapa waktu kemudian, teman-temanku tahu kalau aku benar-benar sakit thypus. Mereka juga tahu kalau Ifalah yang menyebarkan gosip jahat tentang hamilku. Sekarang gantian Ifa yang dikucilkan dan didudukkan di sebelah Cakra.

            Sama seperti padaku, Cakra baik tetapi dingin terhadap Ifa. Tapi Ifa bukan aku yang berusaha mencari tahu rahasia dibalik sikap aneh Cakra.

            Sampai saat ini aku masih belum mengerti. Mana yang lebih baik. Sendirian tapi tidak punya banyak masalah seperti Cakra, atau punya banyak teman dengan konsekuensi siap menghadapi benturan-benturan dalam masyarakat seperti Ifa dan aku.

Comments

  1. Aih Dea, ini keren banget.... :)
    Melindungi diri dengan cara menghindar dr masalah atau berani menghadapi benturan-benturan yang pasti bikin ga nyaman--hmmm...

    ReplyDelete

Post a Comment