Dimuat di majalah KaWanku No. 27/XXX. 25 Desember 2000-2 Januari 2001.
Sweet Seventeen biasanya indah. Namun Rafka memandang usia seventeen dari sisi yang berbeda. Tiga minggu yang lalu, dia membagikan undangan "sweet" seventeen-nya dengan wajah yang jauh dari bahagia. Undangan yang dibagikan Rafka jauh dari mewah. Cuma sebuah karton hitam yang digunting asal-asalan dan ditulisi dengan tip-ex seperti ini:
Rafka Putri mengundang teman-teman untuk berduka cinta dalam black seventeen-nya di:
Garasi Rumah Rafka, Jalan Kaktus 23
Pukul: empat sore sampai selesai
Pada tanggal: 31 Desember 2000
Dresscode: black
... ketika mencapai usia tujuh belas, kita harus belajar kehilangan impian ...
"Kehilangan impian? Maksud kamu apa?" tanyaku begitu menerima undangan dari Rafka.
"Mana ada orang dewasa yang masih punya mimpi? Semua orang dewasa realistis," kecam Rafka.
"Ah, siapa bilang?" aku kurang setuju.
"Iya. Kan enggak ada orang dewasa yang masih percaya negeri di dalam lemari, peri pembuat sepatu, Sinterklas. Lagi pula orang dewasa itu banyak masalah, tahu," argumen Rafka.
"Tapi kan ..."
"Sudah, deh, kamu mau datang ke ulangtahunku, tidak? Kalau tidak mau juga tidak dipaksa," potong Rafka galak.
Aku tidak berani berkomentar lagi. Kalau akhirnya pada tanggal 31 Desember aku datang juga ke pesta ulangtahun Rafka, itu karena aku penasaran dengan keradikalannya menyikapi usia 17.
Rafka dan aku bertetangga. Rumah kami bersebelahan. Jadi aku cuma perlu waktu beberapa menit untuk sampai di rumahnya.
Tidak ada suasana pesta sama sekali ketika aku tiba di rumah Fafka. Semuanya tampak kelam dan serba hitam. Yang diundang pun tidak banyak.
Gerbang rumah Rafka terbuka lebar sehingga setiap tamu yang datang dapat langsung masuk. Rafka sendiri duduk di pojok gariasi dengan wajah kelabu. Ketika aku datang, dia berdiri dan mengangguk hormat. Dengan kikuk aku membalas sapaannya.
Jadi sekarang semua sudah datang," kata Rafka. Di garasi Rafka cuma ada Felida, Rafka, Mery, Daud, Arvin, dan aku. Semuanya berpakaian serba hitam dan nampak tegang.
"Cuma kita saja?" tanya Arvin.
"Tidak semua orang bisa menjadi sahabat dalam duka," sahut Rafka tajam. Kemudia Rafka menatap meja pajang bertaplak hitam di tengah garasi. "Di meja itu ada makanan. Semuanya pahit dan pedas sebagai simbol kepahitan dan kepedasan yang akan segera kulalui," terang Rafka tanpa ekspresi. "Ya, mari kita makan," Rafka mempersilakan.
Kami makan tanpa bersuara. Setelah itu kami dipersilakan pulang. Inilah pesta ulangtahun paling aneh yang pernah kuhdari.
"...LEANDRA, coba tolong ambilkan bolu di dapur!" teriak Mama begitu aku tiba dari rumah Rafka.
"Iyaaa," sahutku. Aku mengambil bolu dari dapur, lalu membantu Mama memotong-motong bolu.
Kami sekeluarga sibuk mempersiapkan pesta tahun baru. Setiap tahun keluarga kami merayakan tahun baru di rumah bersama saudara dekat. Pestanya selalu sederhana, tapi hangat. Kesibukan pesta tahun baru di rumah membuatku segera melupakan pesta eksentrik Rafka.
"Sebentar lagi jam dua belas. Semuanya, siap-siap pengang terompek masing-masing," kata Tulang (Paman, bahasa Batak) Peter, adik bungsu mama. Kami mengambil terompet kami masing-masing, berdiri di sekitar meja makan sembari menatap jam dinding. Pada detik-detik terakhir kami menghitung bersama dengan suara keras "5 ... 4 ... 3... ...2 ...1 ... HOREEE ... Selamat tahun baru !!!" sorak kami bareng. Kami saling mencium dan berpelukan, mengucapkan selamat tahun baru.
Acara sudah selesai. Ketika masuk ke kamar dan berganti pakaian, tiba-tiba saja aku teringat kembali pada pesta Rafka kemarin sore. Sampai saat ini aku belum menemukan alasan Rafka membenci usia 17.
Iseng aku menyingkap tirai jendela kamarku yang persis menghadap ke dapur rumah Rafka. Lampu di sana masih menyala. Tirainya hanya ditutup setengah dan masih nampak Rafka duduk sendiri di kursi meja makan. Aku mengambil selembar kertas, meremasnya, kemudian melemparkannya ke jendela Rafka. BUFF ... tepat sasaran. Rafka terkejut. Ia membuka jendela dapurnya kemudian terbengong-bengong menatapku yang sedang melambai padanya.
"Kenapa Le ???!!!" tanya Rafka
"Selamat tahub baru!" sahutku.
"Oh."
"Kamu enggak ke mana-mana? Aku boleh main ke rumah kamu, tidak? Sekarang?"
Rafka mengerutkan kening. Tanpa meniunggu jawaban Rafka, aku memanjat jendela kamar dan pagar rumahku yang tidak terlalu tinggi. Sebentar saja aku sudah tiba di rumah Rafka.
"Mamamu ada?" tanyaku.
Rafka menggeleng, "Dia lembur."
"Kalian tidak merayakan tahun baru?" tanyaku lagi.
Sekali lagi Rafka menggeleng.
"Sama sekali tidak?" aku mengulang pertanyaanku."Kok lucu, sih, ada orang yang sama sekali tidak merayakan tahun baru?" aku mengerutkan keningku.
"Umur 17 berarti sudah dewasa. Tidak ada lagi pesta-pesta dan senang-senang," jawab Rafka.
Kami berdua duduk di kursi meja makan Rafka.
"Kata mamaku, setelah berumur 17, anak perempuan harus bersiap-siap menjadi wanita yang kuat. Dia harus sudah dapat mandiri, mencari uang sendiri, tidak suka bermimpi, tidak membeli barang-barang tidak berguna seperti boneka atau komik, dan yang lebih penting lagi, wanita dewasa berumur 17 tahun harus siap apabila suatu saat ada laki-laki yang menikahinya kemudian meninggalkannya seperti papa meninggalkan mama," tutur Rafka getir.
Aku merinding. Tidak berani berkomentar.
"Dewasa itu menyebalkan, Kita dituntut lebih banyak, sementara kita belum siap untuk semua hal itu. Aku masih percaya negeri di balik pelangi dan beraharap suatu saat bisa berkunjung ke sana. Aku juga punya banyak cita-cita. Aku ingin pergi ke Disneyland, ingin membuat boneka beruang sebesar rumah, Ingin membuat toko kue yang besaaar ... sekali yang didesain seperti rumah Hansel dan Gretel. Tapi kata mama aku tolol. Aku sudah terlalu besar untuk memimpikan yang aneh-aneh seperti itu. Aku tidak keberatan terus menjadi anak-anak asal boleh memimpikan apa saja," papar Rafka.
Dia menarik nafas, menyibakkan rambut hitamnya yang panjang. Sebetulnya Rafka tidak bisa memungkiri kalau dia bukan anak-anak lagi. Ia sudah tumbuh besar. Dan cantik.
"Rafka, menjadi dewasa tidak seburuk penilaianmu, kok," aku mencoba meluruskan. "Dewasa berarti lebih mengerti orang lain. Itu akan membuatmu punya lebih banyak teman yang menyayangimu. Dewasa juga berarti lebih dipercaya, boleh melakukan hal-hal yang selama ini belum boleh kamu lakukan. Kamu juga tambah cantik karena semakin dewasa. Lagipula tidak yang bilang orang dewasa tidak boleh bermimpi kecuali mama kamu," tuturku.
"Meskipun tidak dipaksa, biasanya setelah dewasa orang membunuh sendiri impiannya. Dulu kamu juga percaya negeri di balik pelangi seperti aku. Sekarang tidak lagi kan?" tuduh Rafka.
"Berhenti memimpikan sesuatu bukan berarti 'membunuh' seperti pandangan kamu. Orang dewasa tetap punya mimpik, kok. Tapi semakin dewasa seseorang, semakin bijaksana dia menentukan apa yang bisa diimpikannya, dan semakin tahu dia bagaimana mencapai impian itu," terangku.
Rafka menggigit bibirnya.
"Sebentar, ya," aku menepuk bahu Rafka.
Aku pulang sebentar, mengambil terompet tahun baru dan sisa kue cokelat, lalu kembali ke rumah Rafka.
"Kita akan merayakan tahun baru berdua sekaligus merayakan sweet seventeen kamu ... maksudnya ... betul-betul merayakan, bukan seperti yang kemarin sore."
"Aku menyodorkan terompet karton karton pada Rafka. Rafka menerimanya dengan ragu. "Pada hitungan ke-3, terompetnya ditiup, ya, 1 ...2 ...3 ... !"
PFWWEETTTT ... kami meniup terompet kami. Rafka meniup sekuat-kuatnya. Melepaskan semua ganjalan dan apriorinya terhadap kedewasaan. Kemudian Rafka tersenyum. Senyum pertamanya yang kulihat hari ini.
"Kalau dewasa berarti menjadi semanis dan sebaik kamu, aku tidak takut menjadi dewasa," kata Rafka.
"Kami menghabiskan kue cokelat, mengobrol sampai pagi, kemudian tertidur di meja makan Rafka. Waktu kami terbagun pada tanggal 1 Januari siang, kami tahu kami akan melalui tahun baru yang manis seperti kue cokelat. Bukan pahit dan pedas seperti yang pernah dipikirkan Rafka.
Sweet Seventeen biasanya indah. Namun Rafka memandang usia seventeen dari sisi yang berbeda. Tiga minggu yang lalu, dia membagikan undangan "sweet" seventeen-nya dengan wajah yang jauh dari bahagia. Undangan yang dibagikan Rafka jauh dari mewah. Cuma sebuah karton hitam yang digunting asal-asalan dan ditulisi dengan tip-ex seperti ini:
Rafka Putri mengundang teman-teman untuk berduka cinta dalam black seventeen-nya di:
Garasi Rumah Rafka, Jalan Kaktus 23
Pukul: empat sore sampai selesai
Pada tanggal: 31 Desember 2000
Dresscode: black
... ketika mencapai usia tujuh belas, kita harus belajar kehilangan impian ...
"Kehilangan impian? Maksud kamu apa?" tanyaku begitu menerima undangan dari Rafka.
"Mana ada orang dewasa yang masih punya mimpi? Semua orang dewasa realistis," kecam Rafka.
"Ah, siapa bilang?" aku kurang setuju.
"Iya. Kan enggak ada orang dewasa yang masih percaya negeri di dalam lemari, peri pembuat sepatu, Sinterklas. Lagi pula orang dewasa itu banyak masalah, tahu," argumen Rafka.
"Tapi kan ..."
"Sudah, deh, kamu mau datang ke ulangtahunku, tidak? Kalau tidak mau juga tidak dipaksa," potong Rafka galak.
Aku tidak berani berkomentar lagi. Kalau akhirnya pada tanggal 31 Desember aku datang juga ke pesta ulangtahun Rafka, itu karena aku penasaran dengan keradikalannya menyikapi usia 17.
Rafka dan aku bertetangga. Rumah kami bersebelahan. Jadi aku cuma perlu waktu beberapa menit untuk sampai di rumahnya.
Tidak ada suasana pesta sama sekali ketika aku tiba di rumah Fafka. Semuanya tampak kelam dan serba hitam. Yang diundang pun tidak banyak.
Gerbang rumah Rafka terbuka lebar sehingga setiap tamu yang datang dapat langsung masuk. Rafka sendiri duduk di pojok gariasi dengan wajah kelabu. Ketika aku datang, dia berdiri dan mengangguk hormat. Dengan kikuk aku membalas sapaannya.
Jadi sekarang semua sudah datang," kata Rafka. Di garasi Rafka cuma ada Felida, Rafka, Mery, Daud, Arvin, dan aku. Semuanya berpakaian serba hitam dan nampak tegang.
"Cuma kita saja?" tanya Arvin.
"Tidak semua orang bisa menjadi sahabat dalam duka," sahut Rafka tajam. Kemudia Rafka menatap meja pajang bertaplak hitam di tengah garasi. "Di meja itu ada makanan. Semuanya pahit dan pedas sebagai simbol kepahitan dan kepedasan yang akan segera kulalui," terang Rafka tanpa ekspresi. "Ya, mari kita makan," Rafka mempersilakan.
Kami makan tanpa bersuara. Setelah itu kami dipersilakan pulang. Inilah pesta ulangtahun paling aneh yang pernah kuhdari.
"...LEANDRA, coba tolong ambilkan bolu di dapur!" teriak Mama begitu aku tiba dari rumah Rafka.
"Iyaaa," sahutku. Aku mengambil bolu dari dapur, lalu membantu Mama memotong-motong bolu.
Kami sekeluarga sibuk mempersiapkan pesta tahun baru. Setiap tahun keluarga kami merayakan tahun baru di rumah bersama saudara dekat. Pestanya selalu sederhana, tapi hangat. Kesibukan pesta tahun baru di rumah membuatku segera melupakan pesta eksentrik Rafka.
"Sebentar lagi jam dua belas. Semuanya, siap-siap pengang terompek masing-masing," kata Tulang (Paman, bahasa Batak) Peter, adik bungsu mama. Kami mengambil terompet kami masing-masing, berdiri di sekitar meja makan sembari menatap jam dinding. Pada detik-detik terakhir kami menghitung bersama dengan suara keras "5 ... 4 ... 3... ...2 ...1 ... HOREEE ... Selamat tahun baru !!!" sorak kami bareng. Kami saling mencium dan berpelukan, mengucapkan selamat tahun baru.
Acara sudah selesai. Ketika masuk ke kamar dan berganti pakaian, tiba-tiba saja aku teringat kembali pada pesta Rafka kemarin sore. Sampai saat ini aku belum menemukan alasan Rafka membenci usia 17.
Iseng aku menyingkap tirai jendela kamarku yang persis menghadap ke dapur rumah Rafka. Lampu di sana masih menyala. Tirainya hanya ditutup setengah dan masih nampak Rafka duduk sendiri di kursi meja makan. Aku mengambil selembar kertas, meremasnya, kemudian melemparkannya ke jendela Rafka. BUFF ... tepat sasaran. Rafka terkejut. Ia membuka jendela dapurnya kemudian terbengong-bengong menatapku yang sedang melambai padanya.
"Kenapa Le ???!!!" tanya Rafka
"Selamat tahub baru!" sahutku.
"Oh."
"Kamu enggak ke mana-mana? Aku boleh main ke rumah kamu, tidak? Sekarang?"
Rafka mengerutkan kening. Tanpa meniunggu jawaban Rafka, aku memanjat jendela kamar dan pagar rumahku yang tidak terlalu tinggi. Sebentar saja aku sudah tiba di rumah Rafka.
"Mamamu ada?" tanyaku.
Rafka menggeleng, "Dia lembur."
"Kalian tidak merayakan tahun baru?" tanyaku lagi.
Sekali lagi Rafka menggeleng.
"Sama sekali tidak?" aku mengulang pertanyaanku."Kok lucu, sih, ada orang yang sama sekali tidak merayakan tahun baru?" aku mengerutkan keningku.
"Umur 17 berarti sudah dewasa. Tidak ada lagi pesta-pesta dan senang-senang," jawab Rafka.
Kami berdua duduk di kursi meja makan Rafka.
"Kata mamaku, setelah berumur 17, anak perempuan harus bersiap-siap menjadi wanita yang kuat. Dia harus sudah dapat mandiri, mencari uang sendiri, tidak suka bermimpi, tidak membeli barang-barang tidak berguna seperti boneka atau komik, dan yang lebih penting lagi, wanita dewasa berumur 17 tahun harus siap apabila suatu saat ada laki-laki yang menikahinya kemudian meninggalkannya seperti papa meninggalkan mama," tutur Rafka getir.
Aku merinding. Tidak berani berkomentar.
"Dewasa itu menyebalkan, Kita dituntut lebih banyak, sementara kita belum siap untuk semua hal itu. Aku masih percaya negeri di balik pelangi dan beraharap suatu saat bisa berkunjung ke sana. Aku juga punya banyak cita-cita. Aku ingin pergi ke Disneyland, ingin membuat boneka beruang sebesar rumah, Ingin membuat toko kue yang besaaar ... sekali yang didesain seperti rumah Hansel dan Gretel. Tapi kata mama aku tolol. Aku sudah terlalu besar untuk memimpikan yang aneh-aneh seperti itu. Aku tidak keberatan terus menjadi anak-anak asal boleh memimpikan apa saja," papar Rafka.
Dia menarik nafas, menyibakkan rambut hitamnya yang panjang. Sebetulnya Rafka tidak bisa memungkiri kalau dia bukan anak-anak lagi. Ia sudah tumbuh besar. Dan cantik.
"Rafka, menjadi dewasa tidak seburuk penilaianmu, kok," aku mencoba meluruskan. "Dewasa berarti lebih mengerti orang lain. Itu akan membuatmu punya lebih banyak teman yang menyayangimu. Dewasa juga berarti lebih dipercaya, boleh melakukan hal-hal yang selama ini belum boleh kamu lakukan. Kamu juga tambah cantik karena semakin dewasa. Lagipula tidak yang bilang orang dewasa tidak boleh bermimpi kecuali mama kamu," tuturku.
"Meskipun tidak dipaksa, biasanya setelah dewasa orang membunuh sendiri impiannya. Dulu kamu juga percaya negeri di balik pelangi seperti aku. Sekarang tidak lagi kan?" tuduh Rafka.
"Berhenti memimpikan sesuatu bukan berarti 'membunuh' seperti pandangan kamu. Orang dewasa tetap punya mimpik, kok. Tapi semakin dewasa seseorang, semakin bijaksana dia menentukan apa yang bisa diimpikannya, dan semakin tahu dia bagaimana mencapai impian itu," terangku.
Rafka menggigit bibirnya.
"Sebentar, ya," aku menepuk bahu Rafka.
Aku pulang sebentar, mengambil terompet tahun baru dan sisa kue cokelat, lalu kembali ke rumah Rafka.
"Kita akan merayakan tahun baru berdua sekaligus merayakan sweet seventeen kamu ... maksudnya ... betul-betul merayakan, bukan seperti yang kemarin sore."
"Aku menyodorkan terompet karton karton pada Rafka. Rafka menerimanya dengan ragu. "Pada hitungan ke-3, terompetnya ditiup, ya, 1 ...2 ...3 ... !"
PFWWEETTTT ... kami meniup terompet kami. Rafka meniup sekuat-kuatnya. Melepaskan semua ganjalan dan apriorinya terhadap kedewasaan. Kemudian Rafka tersenyum. Senyum pertamanya yang kulihat hari ini.
"Kalau dewasa berarti menjadi semanis dan sebaik kamu, aku tidak takut menjadi dewasa," kata Rafka.
"Kami menghabiskan kue cokelat, mengobrol sampai pagi, kemudian tertidur di meja makan Rafka. Waktu kami terbagun pada tanggal 1 Januari siang, kami tahu kami akan melalui tahun baru yang manis seperti kue cokelat. Bukan pahit dan pedas seperti yang pernah dipikirkan Rafka.
Comments
Post a Comment